Dan sesungguhnya sujud kepada Nabi Adam AS di sini adalah pemuliaan dan penghormatan bagi beliau yang diperintahkan atas mereka. Dan Iblis sesungguhnya bagian dari hamba-hamba yang mentauhidkan Allah, tetapi sungguh tiada berguna baginya tauhidnya.
Ketika meletakkan pisaunya pada leher Ismail AS, Nabi Ibrahim AS pun berusaha memotong dengan kuat sekali agar penyembelihan itu segera berakhir dan tidak akan menimbulkan rasa sakit yang lama bagi putra tercintanya. Akan tetapi, sekuat apa pun ia berusaha, pisau yang ada di tangannya tidak sedikit pun menggores leher anaknya itu.Ketika peristiwa itu terjadi, para malaikat yang ada di langit dan di laut semua menyaksikannya. Mereka melihat Nabi Ibrahim AS benar-benar telah menjalankan perintah Allah SWT, menyembelih putranya, Ismail, maka mereka tersungkur bersujud kepada Allah SWT.
Allah SWT pun berfirman kepada para malaikat, “Perhatikan oleh kalian semua, hamba-Ku ini, bagaimana ia meletakkan pisau pada leher putranya untuk mengharapkan keridhaan-Ku, sedangkan kalian dahulu, ketika Aku berfirman ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikan di bumi ini seorang khalifah’, berkata, ‘Apakah Engkau menciptakan orang yang akan berbuat kerusakan di bumi dan akan menumpahkan darah sedangkan kami semua senantiasa mensucikan Engkau?’.”
Akhirnya Nabi Ismail AS berkata, “Wahai ayahku, lepaskanlah ikatan tali di tangan dan kakiku agar Allah SWT tidak memandangku sebagai orang yang terpaksa mentaati perintah-Nya. Kemudian letakkan pisau itu di leherku agar malaikat-malaikat tahu bahwa putra Ibrahim AS telah mentaati perintah Tuhannya dengan suka rela.”
Lalu, Nabi Ibrahim pun menelentangkan kedua tangan Ismail dan kedua kakinya yang tanpa ikatan serta memalingkan wajahnya ke tanah lalu menekankan pisau dengan sekuat tenaganya. Namun, dengan izin Allah SWT, ternyata pisau itu tidak dapat memotong leher Ismail.
Melihat kejadian itu, Ismail berkata, “Wahai ayahku, kekuatanmu menjadi lemah karena engkau masih menyimpan belas kasih kepadaku. Itulah sebabnya engkau tidak dapat menyembelihku.”
Lalu Nabi Ibrahim AS menebaskan pisaunya ke sebuah batu dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. Kemudian Nabi Ibrahim AS berkata, “Hai pisau, engkau mampu membelah batu itu, tetapi mengapa engkau tidak mampu memotong leher anakku?”
Dengan izin Allah SWT pisau itu dapat berbicara dan menjawab, “Wahai Nabi Allah, Ibrahim, engkau memang menyuruhku untuk memotong leher anakmu, tetapi Tuhan melarangku untuk memotongnya. Maka bagaimana mungkin aku mentaati perintahmu dan mendurhakai Tuhanku dan Tuhanmu?”
Pada saat itu, Allah SWT berfirman, ”Hai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpimu dari apa semua yang engkau lakukan. Aku telah melihat bahwa engkau bersungguh-sungguh telah memilih keridhaan-Ku daripada kecintaanmu terhadap anakmu. Oleh sebab itulah, engkau termasuk golongan orang yang taat kepada perintah-Ku.
Sesungguhnya ujian ini merupakan ujian yang nyata. Penyembelihan itu adalah ujian yang nyata untuk mengetahui antara siapa yang ikhlas dan siapa yang tidak ikhlas dan merupakan ujian yang sangat sukar karena tidak ada ujian yang seberat ujian ini.
Maka, Kami selamatkan orang yang diperintahkan menyembelih dengan sembelihan yang besar dari surga, yaitu kambing kibas yang dahulu telah dikorbankan oleh Habil yang telah diterima darinya. Qurban itu tetap berada di surga sehingga Ismail ditebus (ditukar) dengan kambing itu. Oleh sebab itulah, Kami perintahkan kepada Jibril untuk membawa kambing kibas itu ketika terakhir kali engkau meletakkan pisaumu di leher anakmu, Ismail.”
Malaikat Jibril lalu berseru untuk mengagungkan Allah SWT dan merasa takjub menyaksikan ketulusan Nabi Ibrahim AS sambil berucap, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Mahabesar, Allah Mahabesar, Allah Mahabesar) .”
Lalu Nabi Ibrahim AS membalas ucapan Malaikat Jibril dengan ucapan, “La ilaaha illallaah huwallahu akbar (Tiada Tuhan selain Allah, Dia-lah Allah).” Dan Nabi Ismail pun segera menyambutnya dengan ucapan, “Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Mahabesar dan hanya bagi dan milik Allah segala puji).”
Kemudian Allah SWT memuliakan ucapan itu dan menganjurkan umat Islam untuk mengucapkannya sebagai takbir pada setiap hari raya, baik ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adhha, untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, yang sentiasa ridha dan taat dalam menjalankan perintah Allah SWT.
Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS Ash-Shaffat: 104-111).
Setelah membaca kembali dan merenungi kisah di atas, coba kita cermati dan renungkan dengan sebaik-baiknya firman Allah, “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS Ash-Shaffat: 107-111). Pada ayat-ayat ini Allah SWT menegaskan pujian-Nya kepada Nabi Ibrahim AS terhadap apa yang ia lakukan, di samping menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS itulah hakikat ketulusan dan iman sesungguhnya.
Dalam kisah ini, di antara inti makna penting yang terkandung di dalamnya adalah kemurnian tauhid dan hakikat iman itu sendiri. Bahwa, dalam hal ibadah kepada Allah SWT, Nabi Ibrahim AS tidak menimbang perkara agama dengan pikirannya, melainkan semata-mata tunduk dan pasrah terhadap kehendak dan perintah Allah SWT. Bahkan di saat pikiran dan akal sempit manusia tidak menerima bila harus membunuh putranya sendiri, Nabi Ibrahim AS menafikan semua itu dan sepenuhnya tunduk patuh kepada perintah Allah SWT. Bila itu adalah perintah Allah, tidak ada celah sedikit pun bagi akal untuk menimbangnya selain patuh dan tunduk kepada Yang Maha Pemberi perintah. Karena yang demikian itulah inti dan hakikat kemurnian tauhid yang sesungguhnya. Karena, bila dalam hal ini akal sempit manusia masuk, sesungguhnya dia tengah mencontoh perilaku makhluk Allah pertama yang menimbang perkara agama hanya dengan akal pikirannya, yakni Iblis, yang karena perbuatannya itu Iblis terusir dari rahmat Allah SWT. Na‘udzu billah min dzalik.
Untuk lebih memahami makna-makna ini, mari kita mengingat kembali kisah Iblis, sebagaimana yang dituturkan oleh Sayyidina Habib Ali Al-Jufri dalam salah satu majelisnya.
Setelah Allah SWT menciptakan Adam AS dari tanah dan meniupkan kepadanya ruh dari sisi-Nya dan memerintahkan para malaikat supaya bersujud kepada Adam, timbullah dua bentuk kesamaran. Yaitu, pertama, kesamaran yang bersasal dari dzat yang tidak terdapat padanya kesombongan (al-kibr) akan tetapi ingin memahami sesuatu, mereka adalah para malaikat. Dan, kedua, kesamaran yang berasal dari dzat yang padanya terdapat kesombongan, yakni Iblis.
Para
malaikat berkata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’.” (QS Al-Baqarah: 30).
Ini adalah pertanyaan untuk mencari penjelasan. Perkataan itu diucapkan oleh para malaikat karena merasa samar dalam perkara tersebut.
Para malaikat adalah makhluk Allah SWT yang sepenuhnya beribadah kepada Allah dan bertasbih kepada-Nya. Mereka makhluk yang tercipta dari cahaya, yang tidak pernah mendurhakai Allah dalam segala hal yang diperintahkan-Nya dan senantiasa menunaikan apa yang diperintahkan kepada mereka.
Tiba-tiba Allah ciptakan satu makhluk yang terbuat dari tanah, belum pernah satu kali pun sujud kepada-Nya, dan tidak pula tampak adanya keutamaan dan keistimewaannya dibanding mereka, para malaikat. Dalam kondisi semacam itu, Allah justru berfirman kepada mereka, “Sujudlah kalian kepadanya (Sesungguhnya Aku telah menjadikan seorang khalifah di muka bumi).”
Malaikat berkata, “Bagaimana mungkin wujud seperti itu disebut khalifah (wakil Allah)? Padahal kami senantiasa bersujud dan menunaikan segala perintah?”
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Aku lebih mengetahui segala apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 30).
Mendapat jawaban dari Allah SWT semacam itu, para malaikat pun berhenti sampai batas itu. “Benar, Mahasuci Engkau. Engkau Maha Mengetahui segala apa yang kami tidak ketahui.” Maka selesailah masalahnya.
Sedangkan Iblis memiliki kesombongan di dalam dirinya. Ia menisbahkan segala perbuatan dan ibadahnya kepada dirinya sendiri dan tidak kepada taufiq Allah SWT. Ia memandang bahwa dirinya lebih mulia dari selainnya.
Kala itu Iblis berkata, “Bagaimana mungkin, ia tercipta dari tanah, dan Engkau ingin aku sujud kepadanya?”
Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (QS Al-A`raf: 12).
Menjawablah Iblis, “Aku lebih baik daripadanya.” (QS Al-A`raf: 12).
Iblis membanding-bandingkan dirinya dengan Adam AS. “Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A`raf: 12).
Allah berfirman, “Turunlah engkau dari surga itu....” (QS Al-A`raf: 13).
Perhatikan! Di sini permasalahan sesungguhnya berasal dari dalam diri Iblis yang kemudian menjadi tabiat. Apa tabiatnya? Yakni menolak sujud, mendurhakai Allah SWT, dan tidak melaksanakan perintah Allah SWT.
Tabiat ini telah mencegah Iblis dari melakukan apa yang diperintahkan kepadanya. Setelah itu keluarlah darinya ucapan, “Aku lebih baik darinya.” Setelahnya muncul lagi sikap untuk menetapkan dirinya dalam kebathilan dan kedurhakaan. “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS Shaad: 82).
Kepada siapa Iblis berkata demikian?
Iblis berkata demikian kepada Tuhan, Yang Mahaagung. Mahasuci Allah dan Mahatinggi. Siapa yang dia tentang?! Yang dia tentag adalah Allah SWT.
Demikianlah Iblis. Iblis, yang karena kesungguhan ibadahnya kepada Allah sampai dijuluki thawus al-malaikah (mahkota para malaikat), harus terusir dari rahmat Allah SWT selama-lamanya karena dia telah menimbang perkara agama dengan kesempitan akal pikirannya, sehingga lahir di dalam hatinya sifat ujub, yang kemudian berkembang menjadi takabur, dan berkembang lagi menjadi hasad, dan seterusnya hingga menjadi makhluk terlaknat karena telah menobatkan dirinya sebagai penentang, pendurhaka, dan pengingkar sejati terhadap Allah SWT, Tuhan Penciptanya. Naudzu billah mindzalik.
Berkaitan dengan makna-makna ini, banyak di kalangan umat Islam, baik secara sadar maupun tidak, dan karena kebodohannya, telah menjerumuskan dirinya ke jurang perilaku dan sikap yang dipilih oleh Iblis dibanding memilih perilaku dan sikap yang dipilih oleh para malaikat dan Nabi Ibrahim AS dan hamba-hamba Allah yang shalih seperti mereka. Yakni, menimbang perkara-perkara agama dengan kesempitan dan kepicikan akal pikiran mereka sendiri.
Di antara kesalahan sikap dan perilaku keberagamaan yang sangat fatal itu adalah pandangan mereka yang menganggap pengagungan terhadap Nabi SAW dan para shalihin dalam bentuk apa pun sebagai perbuatan kufur dan syirik, yang bukan hanya wajib dijauhi tetapi juga harus diperangi pelakunya karena dianggap telah menyalahi syari’at Islam dan menyebarkan paham kufur dan syirik. Hal ini tidak lain semata-mata karena menurut akal dan pikiran mereka, Rasulullah SAW tidak lain hanyalah seorang manusia biasa, sama seperti manusia lainnya. Mengagungkan Nabi SAW berarti telah menyekutukan Allah SWT dengan makhluk, karena pengagungan semata-mata hanya ditujukan kepada Allah SWT.
(Bersambung)
Pasang iklan dilihat ribuan orang? klik > murah dan tepat sasaran">Serbuanads >> MURAH dan TEPAT SASARAN
No comments:
Post a Comment