Monday, September 30, 2013

Hakikat Kemurnian Tauhid (Bagian 2)

www.majalah-alkisah.comDan sesungguhnya sujud kepada Nabi Adam AS di sini adalah pemuliaan dan penghormatan bagi beliau yang diperintahkan atas mereka. Dan Iblis sesungguhnya bagian dari hamba-hamba yang mentauhidkan Allah, tetapi sungguh tiada berguna baginya tauhidnya.

Ketika meletakkan pisaunya pada le­her Ismail AS, Nabi Ibrahim AS pun beru­saha memotong dengan kuat sekali agar penyembelihan itu segera berakhir dan tidak akan menimbulkan rasa sakit yang lama bagi putra tercintanya. Akan tetapi, sekuat apa pun ia berusaha, pisau yang ada di tangannya tidak sedikit pun meng­gores leher anaknya itu.

Ketika peristiwa itu terjadi, para ma­laikat yang ada di langit dan di laut se­mua menyaksikannya. Mereka melihat Nabi Ibrahim AS benar-benar telah men­jalankan perintah Allah SWT, menyem­belih putranya, Ismail, maka mereka ter­sungkur bersujud kepada Allah SWT.

Allah SWT pun berfirman kepada para malaikat, “Perhatikan oleh kalian se­mua, hamba-Ku ini, bagaimana ia me­letakkan pisau pada leher putranya un­tuk mengharapkan keridhaan-Ku, se­dangkan kalian dahulu, ketika Aku ber­firman ‘Sesungguhnya Aku akan men­jadikan di bumi ini seorang khalifah’, ber­kata,  ‘Apakah Engkau menciptakan orang yang akan berbuat kerusakan di bumi dan akan menumpahkan darah se­dangkan kami semua senantiasa men­sucikan Engkau?’.”

Akhirnya Nabi Ismail AS berkata, “Wahai ayahku, lepaskanlah ikatan tali di tangan dan kakiku agar Allah SWT tidak memandangku sebagai orang yang ter­paksa mentaati perintah-Nya. Kemu­dian letakkan pisau itu di leherku agar malaikat-malaikat tahu bahwa putra Ibrahim AS  telah mentaati perintah Tu­hannya dengan suka rela.”

Lalu, Nabi Ibrahim pun menelentang­kan kedua tangan Ismail dan kedua ka­kinya yang tanpa ikatan serta memaling­kan wajahnya ke tanah lalu menekankan pisau dengan sekuat tenaganya. Na­mun, dengan izin Allah SWT, ternyata pi­sau itu tidak dapat memotong leher Ismail.

Melihat kejadian itu, Ismail berkata, “Wahai ayahku, kekuatanmu menjadi lemah karena engkau masih menyimpan belas kasih kepadaku. Itulah sebabnya engkau tidak dapat menyembelihku.”

Lalu Nabi Ibrahim AS menebaskan pisaunya ke sebuah batu dan batu itu pun terbelah menjadi dua bagian. Kemu­dian Nabi Ibrahim AS berkata, “Hai pi­sau, engkau mampu membelah batu itu, tetapi mengapa engkau tidak mampu memotong leher anakku?”

Dengan izin Allah SWT pisau itu da­pat berbicara dan menjawab, “Wahai Nabi Allah, Ibrahim, engkau memang me­nyuruhku untuk memotong leher anak­mu, tetapi Tuhan melarangku untuk me­motongnya. Maka bagaimana mungkin aku mentaati perintahmu dan mendur­hakai Tuhanku dan Tuhanmu?”

Pada saat itu, Allah SWT berfirman, ”Hai Ibrahim, sungguh engkau telah mem­benarkan mimpimu dari apa semua yang engkau lakukan. Aku telah melihat bah­wa engkau bersungguh-sungguh telah memilih keridhaan-Ku daripada kecintaanmu terhadap anakmu. Oleh sebab itulah, engkau termasuk golongan orang yang taat kepada perintah-Ku.

Sesungguhnya ujian ini merupakan ujian yang nyata. Penyembelihan itu adalah ujian yang nyata untuk menge­tahui antara siapa yang ikhlas dan siapa yang tidak ikhlas dan merupakan ujian yang sangat sukar karena tidak ada ujian yang seberat ujian ini.

Maka, Kami selamatkan orang yang di­perintahkan menyembelih dengan sem­belihan yang besar dari surga, yaitu kambing kibas yang dahulu telah dikor­bankan oleh Habil yang telah diterima darinya. Qurban itu tetap berada di surga sehingga Ismail ditebus (ditukar) dengan kambing itu. Oleh sebab itulah, Kami pe­rintahkan kepada Jibril untuk membawa kambing kibas itu ketika terakhir kali engkau meletakkan pisaumu di leher anakmu, Ismail.”

Malaikat Jibril lalu berseru untuk mengagungkan Allah SWT dan merasa takjub menyaksikan ketulusan Nabi Ibra­him AS sambil berucap, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar (Allah Maha­besar, Allah Mahabesar, Allah Maha­besar) .”

Lalu Nabi Ibrahim AS membalas ucap­an Malaikat Jibril dengan ucapan, “La ilaaha illallaah huwallahu akbar (Tiada Tuhan selain Allah, Dia-lah Allah).” Dan Nabi Ismail pun segera menyambutnya dengan ucapan, “Allahu akbar wa lillahil hamd (Allah Mahabesar dan hanya bagi dan milik Allah segala puji).”

Kemudian Allah SWT memuliakan ucapan itu dan menganjurkan umat Islam untuk mengucapkannya sebagai takbir pada setiap hari raya, baik ‘Idul Fithri maupun ‘Idul Adhha, untuk mengi­kuti jejak Nabi Ibrahim AS dan putranya, Nabi Ismail AS, yang sentiasa ridha dan taat dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Peristiwa ini diabadikan dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman, “Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas peli­pis(nya), (nyatalah kesabaran kedua­nya). Dan Kami panggillah dia, ‘Hai Ibra­him, sesungguhnya kamu telah membe­narkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demi­kianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesung­guhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami aba­dikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang da­tang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (QS Ash-Shaffat: 104-111).

Setelah membaca kembali dan me­renungi kisah di atas, coba kita cermati dan renungkan dengan sebaik-baiknya firman Allah, “Kami abadikan untuk Ibra­him itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.’ Demikianlah Kami memberi ba­lasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk ham­ba-hamba Kami yang beriman.” (QS Ash-Shaffat: 107-111). Pada ayat-ayat ini Allah SWT menegaskan pujian-Nya kepada Nabi Ibrahim AS terhadap apa yang ia lakukan, di samping menegas­kan bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS itulah hakikat ketulusan dan iman sesungguhnya.

Dalam kisah ini, di antara inti makna penting yang terkandung di dalamnya ada­lah kemurnian tauhid dan hakikat iman itu sendiri. Bahwa, dalam hal iba­dah kepada Allah SWT, Nabi Ibrahim AS tidak menimbang perkara agama de­ngan pikirannya, melainkan semata-mata tunduk dan pasrah terhadap ke­hendak dan perintah Allah SWT. Bahkan di saat pikiran dan akal sempit manusia tidak menerima bila harus membunuh putranya sendiri, Nabi Ibrahim AS me­nafikan semua itu dan sepenuhnya tun­duk patuh kepada perintah Allah SWT. Bila itu adalah perintah Allah, tidak ada celah sedikit pun bagi akal untuk menim­bangnya selain patuh dan tunduk ke­pada Yang Maha Pemberi perintah. Ka­rena yang demikian itulah inti dan haki­kat kemurnian tauhid yang sesungguh­nya. Karena, bila dalam hal ini akal sem­pit manusia masuk, sesungguhnya dia tengah mencontoh perilaku makhluk Allah pertama yang menimbang perkara agama hanya dengan akal pikirannya, yakni Iblis, yang karena perbuatannya itu Iblis terusir dari rahmat Allah SWT. Na‘udzu billah min dzalik.

Untuk lebih memahami makna-mak­na ini, mari kita mengingat kembali kisah Iblis, sebagaimana yang dituturkan oleh Sayyidina Habib Ali Al-Jufri dalam salah satu majelisnya.

Setelah Allah SWT menciptakan Adam AS dari tanah dan meniupkan ke­padanya ruh dari sisi-Nya dan memerin­tahkan para malaikat supaya bersujud kepada Adam, timbullah dua bentuk ke­samaran. Yaitu, pertama, kesamaran yang bersasal dari dzat yang tidak ter­dapat padanya kesombongan (al-kibr) akan tetapi ingin memahami sesuatu, me­reka adalah para malaikat. Dan, ke­dua, kesamaran yang berasal dari dzat yang padanya terdapat kesombongan, yakni Iblis.

Para
malaikat berkata, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Mereka ber­kata, ‘Mengapa Engkau hendak men­jadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan me­numpahkan darah, padahal kami se­nantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’.” (QS Al-Baqarah: 30).

Ini adalah pertanyaan untuk mencari penjelasan. Perkataan itu diucapkan oleh para malaikat karena merasa samar dalam perkara tersebut.

Para malaikat adalah makhluk Allah SWT yang sepenuhnya beribadah ke­pada Allah dan bertasbih kepada-Nya. Mereka makhluk yang tercipta dari caha­ya, yang tidak pernah mendurhakai Allah dalam segala hal yang diperintahkan-Nya dan senantiasa menunaikan apa yang diperintahkan kepada mereka.

Tiba-tiba Allah ciptakan satu makhluk yang terbuat dari tanah, belum pernah satu kali pun sujud kepada-Nya, dan ti­dak pula tampak adanya keutamaan dan keistimewaannya dibanding mereka, para malaikat. Dalam kondisi semacam itu, Allah justru berfirman kepada me­reka, “Sujudlah kalian kepadanya (Se­sungguhnya Aku telah menjadikan se­orang khalifah di muka bumi).”

Malaikat berkata, “Bagaimana mung­kin wujud seperti itu disebut khalifah (wa­kil Allah)? Padahal kami senantiasa ber­sujud dan menunaikan segala perintah?”

Allah SWT berfirman, “Sesungguh­nya Aku lebih mengetahui segala apa yang tidak kalian ketahui.” (QS Al-Baqarah: 30).

Mendapat jawaban dari Allah SWT semacam itu, para malaikat pun berhenti sampai batas itu. “Benar, Mahasuci Eng­kau. Engkau Maha Mengetahui segala apa yang kami tidak ketahui.” Maka sele­sailah masalahnya.

Sedangkan Iblis memiliki kesom­bong­an di dalam dirinya. Ia menisbahkan segala perbuatan dan ibadahnya kepa­da dirinya sendiri dan tidak kepada taufiq Allah SWT. Ia memandang bahwa diri­nya lebih mulia dari selainnya.

Kala itu Iblis berkata, “Bagaimana mung­kin, ia tercipta dari tanah, dan Eng­kau ingin aku sujud kepadanya?”

Allah berfirman, “Apakah yang meng­halangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” (QS Al-A`raf: 12).

Menjawablah Iblis, “Aku lebih baik daripadanya.” (QS Al-A`raf: 12).

Iblis membanding-bandingkan diri­nya dengan Adam AS. “Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A`raf: 12).

Allah berfirman, “Turunlah engkau dari surga itu....” (QS Al-A`raf: 13).

Perhatikan! Di sini permasalahan sesungguhnya berasal dari dalam diri Iblis yang kemudian menjadi tabiat. Apa tabiatnya? Yakni menolak sujud, men­durhakai Allah SWT, dan tidak melak­sanakan perintah Allah SWT.

Tabiat ini telah mencegah Iblis dari me­lakukan apa yang diperintahkan ke­padanya. Setelah itu keluarlah darinya ucapan, “Aku lebih baik darinya.” Sete­lahnya muncul lagi sikap untuk menetap­kan dirinya dalam kebathilan dan kedur­hakaan. “Demi kekuasaan Engkau, aku akan menyesatkan mereka semuanya.” (QS Shaad: 82).

Kepada siapa Iblis berkata demiki­an?

Iblis berkata demikian kepada Tu­han, Yang Mahaagung. Mahasuci Allah dan Mahatinggi. Siapa yang dia ten­tang?! Yang dia tentag adalah Allah SWT.

Demikianlah Iblis. Iblis, yang karena kesungguhan ibadahnya kepada Allah sampai dijuluki thawus al-malaikah (mah­kota para malaikat), harus terusir dari rahmat Allah SWT selama-lamanya karena dia telah menimbang perkara agama dengan kesempitan akal pikiran­nya, sehingga lahir di dalam hatinya sifat ujub, yang kemudian berkembang men­jadi takabur, dan berkembang lagi men­jadi hasad, dan seterusnya hingga men­jadi makhluk terlaknat karena telah menobatkan dirinya sebagai penentang, pendurhaka, dan pengingkar sejati ter­hadap Allah SWT, Tuhan Penciptanya. Naudzu billah mindzalik.

Berkaitan dengan makna-makna ini, banyak di kalangan umat Islam, baik se­cara sadar maupun tidak, dan karena ke­bodohannya, telah menjerumuskan diri­nya ke jurang perilaku dan sikap yang di­pilih oleh Iblis dibanding memilih peri­laku dan sikap yang dipilih oleh para ma­laikat dan Nabi Ibrahim AS dan hamba-hamba Allah yang shalih seperti mereka. Yakni, menimbang perkara-perkara aga­ma dengan kesempitan dan kepicikan akal pikiran mereka sendiri.

Di antara kesalahan sikap dan peri­laku keberagamaan yang sangat fatal itu adalah pandangan mereka yang meng­anggap pengagungan terhadap Nabi SAW dan para shalihin dalam bentuk apa pun sebagai perbuatan kufur dan syirik, yang bukan hanya wajib dijauhi te­tapi juga harus diperangi pelakunya karena dianggap telah menyalahi syari’at Islam dan menyebarkan paham kufur dan syirik. Hal ini tidak lain semata-mata karena menurut akal dan pikiran mereka, Rasulullah SAW tidak lain hanyalah se­orang manusia biasa, sama seperti ma­nusia lainnya. Mengagungkan Nabi SAW berarti telah menyekutukan Allah SWT dengan makhluk, karena peng­agung­an semata-mata hanya ditujukan kepada Allah SWT.

(Bersambung)

Pasang iklan dilihat ribuan orang? klik > murah dan tepat sasaran">Serbuanads >> MURAH dan TEPAT SASARAN

No comments:

Post a Comment