Monday, September 30, 2013

Hakikat Kemurnian Tauhid (Bagian 1)

www.majalah-alkisah.comDan sesungguhnya sujud kepada Nabi Adam AS di sini adalah pemuliaan dan penghormatan bagi beliau yang diperintahkan atas mereka. Dan Iblis sesungguhnya bagian dari hamba-hamba yang mentauhidkan Allah, tetapi sungguh tiada berguna baginya tauhidnya.

Bulan Dzulhijjah adalah bulan berjuta makna. Makna-makna dari setiap peristiwa pada bulan ini tak akan pernah habis digali dan senan­tiasa memenuhi setiap ruang hati dan pi­kiran siapa pun yang merindukan diri­nya untuk menjadi seorang salik, peniti jalan kemuliaan menuju Allah SWT. Di antara peristiwa-peristiwa agung yang penuh makna di bulan ini adalah peris­tiwa penyembelihan hewan qurban, yang syari’at tahunan ini berkaitan erat de­ngan peristiwa pengorbanan yang di­lakukan oleh Nabi Ibrahim AS dengan mengorbankan Nabi Isma‘il AS, putra tercinta dan terkasihnya, sebagai bentuk ketaatan yang tiada duanya dari seorang hamba kepada Tuhannya.

Dikisahkan, Nabi Ibrahim AS dari waktu ke waktu datang ke Makkah untuk mengunjungi dan menjenguk putra ter­cintanya, Ismail, dan istri terkasihnya, Siti Hajar, untuk melepas rindu serta mene­nangkan rasa di hatinya dari gundah dan gelisah bila mengenang keadaan kedua­nya yang ditinggalkan di tempat nan tan­dus, jauh dari masyarakat dan pengaul­an khalayak umum. Tak ada sesuatu pun yang bisa meredam duka dan pilu di hati­nya selain ketaatan kepada Tuhannya.

Sewaktu Nabi Ismail AS telah men­ca­pai usia remajanya, Nabi Ibrahim AS mendapat mimpi bahwa ia harus me­nyembelih Ismail, putranya. Nabi Ibrahim AS bangun dari tidurnya dalam keadaan terkejut dengan mimpinya yang aneh itu. Ia pun lalu memohon ampun dan perlin­dungan kepada Allah SWT dan kembali tidur. Namun mimpi yang seperti semula pun terjadi lagi. Nabi Ibrahim AS kembali terbangun, memohon ampun dan perlin­dungan kepada Allah SWT dan kembali tidur lagi. Akan tetapi, mimpinya kembali berulang dan masih tetap sama. Hingga Nabi Ibrahim pun yakin bahwa itu adalah perintah dari Allah SWT.

Nabi Ibrahim AS mengetahui bahwa perintah tersebut merupakan ujian yang harus ia jalani. Amat berat bagi Nabi Ibrahim AS untuk memberi tahu isi wahyu itu kepada Ismail. Ismail pada saat itu menginjak dewasa dan sudah mampu mencari nafkahnya sendiri. Nabi Ibrahim AS sangat senang karena Ismail sudah besar. Wajahnya teramat gagah dan tam­pan, pembawaanya lembut tapi pe­nuh kharisma, perangainya riang dan me­nyenangkan. Semua keistimewaan putra tercintanya begitu membayang jelas di hadapan mata. Perasaan cinta dan kasih sayang sebagai seorang ayah terhadap putra tercinta tak dapat berbo­hong. Nabi Ibrahim memendam kesedih­an yang mendalam.

Ketika Nabi Ibrahim AS hendak pergi melaksanakan penyembelihan putranya itu, ia berkata kepada Siti Hajar, “Wahai istriku, tolong kamu pakaikan anakmu Ismail pakaian yang paling baik dan bagus karena aku akan pergi berziarah dengannya.”

Siti Hajar pun memakaikan pakaian yang paling bagus kepada Ismail, mem­berinya minyak rambut, lalu menyisir rambutnya.

Kemudian, Nabi Ibrahim AS pergi ber­sama Ismail menuju suatu tempat di dekat Mina. Ia juga membawa tali dan pisau yang tajam.

Di perjalanan, Iblis terkutuk datang menggoda Nabi Ibrahim AS. Iblis berkata kepada Nabi Ibrahim, “Apakah kamu ti­dak memperhatikan badannya yang ga­gah, parasnya yang tampan, dan peri­lakunya yang santun?”

Nabi Ibrahim AS menjawab, “Ya, te­tapi aku telah diperintah oleh Tuhanku untuk menyembelihnya.” Kemudian Nabi Ibrahim melempar Iblis dengan kerikil sehingga menjauhlah Iblis dari Nabi Ibrahim.

Karena putus asa sebab tidak dapat menggoda Nabi Ibrahim AS, Iblis ter­ku­tuk itu pun pergi menemui Siti Hajar dan berkata kepadanya, “Bagaimana mung­kin kamu hanya duduk-duduk seperti ini se­dangkan suamimu pergi dengan anak­mu dan hendak menyembelihnya?”

Siti Hajar menjawab, “Jangan ber­dusta! Aku tahu, seorang ayah tidak akan sanggup menyembelih anaknya sen­diri!”

Iblis berkata, “Suamimu membawa pergi anakmu sambil membawa tali dan pisau. Dia mengira, Tuhannya telah me­nyuruhnya untuk itu.”

Siti Hajar menjawab tegas, “Seorang nabi tidak akan diperintahkan untuk me­ngerjakan sesuatu yang sia-sia. Tapi, jika memang Allah SWT telah memerin­tahkan perkara itu, aku sendiri bersedia untuk menurut perintah itu dengan jiwa­ku. Bukan hanya jiwaku, anakku tercinta pun rela kukorbankan demi Allah SWT!”. Siti Hajar pun mengambil kerikil dan melemparkannya ke wajah Iblis se­hingga Iblis lari menjauh darinya.

Putus asa dari membujuk dan mem­perdaya Siti Hajar, Iblis pun pergi me­nemui Ismail, yang tengah duduk se­orang diri di tepi jalan. Dia berkata, “Hai Ismail, kamu tampak bersenang-senang, sedangkan saat ini ayahmu membawa tali dan pisau untuk menyembelih diri-mu.”

“Jangan berdusta, hai Iblis. Mengapa ayahku hendak menyembelihku?” tanya Ismail.

“Dia mengira bahwa Tuhannya telah menyuruhnya demikian,” kata Iblis.

“Bila demikian, aku memperhatikan dan mentaati perintah Tuhanku!” kata Ismail.

Ketika Iblis hendak melontarkan kata-kata yang lain, terlebih dahulu Ismail AS mengambil batu lalu melem­par­kannya kepada Iblis sehingga me­nye­babkan mata Iblis yang kiri pecah dan menjadi buta. Setelah itu, barulah Iblis pergi. Peristiwa inilah yang melatar­belakangi perintah Allah SWT yang me­wajibkan umat Islam untuk melemparkan batu (melempar jumrah) di tempat itu se­bagai isyarat mengusir setan, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan Nabi Ismail AS. Ketiga pelemparan itu kemudian dikenal de­ngan nama “Jumrah Aqabah”, “Jumrah Wustha”, dan “Jumrah Ula”.

Ketika sampai di Mina, Nabi Ibrahim AS sudah bulat untuk menyampaikan maksudnya mengajak Ismail ke tempat itu. Dengan kata-kata yang berat, Nabi Ibrahim AS berkata kepada Ismail, “Wa­hai anakku, aku mendengar dalam mim­piku bahwa Allah SWT memerintah­kan­ku untuk menyembelih dirimu. Bagai­mana pendapatmu?”

Maksud pertanyaan Nabi Ibrahim AS meminta pendapat Nabi Ismail tentang perintah dalam mimpinya itu untuk me­ngetahui apakah Ismail akan tabah dan sabar menerima perintah Allah SWT itu, atau justru ia akan menolaknya. Sekali­gus sebagai ujian apakah Ismail akan menjawab dengan penuh perhatian dan taat kepada perintah Allah SWT atau tidak.

Keshalihan sang ayah turun dengan sempurna kepada sang anak tercinta. Dengan penuh perhatian dan tiada ter­lihat keraguan sedikit pun, Nabi Ismail AS menjawab, “Wahai ayahku, kerja­kan­lah apa yang Allah SWT perintahkan ke­padamu. Insya Allah Ayah akan menda­patkan aku sebagai orang yang sabar da­lam menjalankan perintah Allah SWT.”

Dialog mengharukan antara seorang ayah yang teramat mencintai putranya dan seorang anak yang teramat patuh kepada ayahnya karena ketaatan ke­pa­da Tuhannya ini telah diabadikan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman, mengi­sahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat da­lam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.’

Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerja­kanlah apa yang diperintahkan kepada­mu, insya Allah engkau akan mendapati­ku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS Ash-Shaffat: 102).

Di kala mendengar jawaban dari putranya itu, Nabi Ibrahim AS tahu bah­wa doanya telah dikabulkan oleh Allah SWT, ketika ia bermunajat, sebagai­mana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Rabbi hablii minash-shalihiin (Ya Tuhanku, be­rikanlah aku anak yang shalih).” (QS Ash-Shaffat: 100). Lalu Nabi Ibrahim AS pun mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah SWT.

Kemudian Ismail AS berkata, “Wahai Ayah, sebelum engkau melaksanakan tugasmu, aku ingin s
ampaikan beberapa pesanan kepada Ayah. Hendaklah Ayah mengikat tanganku agar aku tidak dapat bergerak-gerak karena mungkin aku akan menyakiti Ayah. Hadapkan wajah­ku ke tanah agar Ayah tidak dapat me­lihat wajahku sehingga merasa kasihan dan iba kepadaku. Hendaklah Ayah melipat kain ayah agar tidak terlumuri darah meskipun sedikit sehingga me­ngu­rangi pahalaku dan diketahui oleh Ibu hingga ia menjadi sedih. Hendaklah Ayah menajamkan pisau Ayah dan mem­percepatkan penyembelihannya pada leherku agar aku tidak merasa terlalu sakit kerana sesungguhnya mati itu sakit sekali.

Hendaklah Ayah membawa bajuku kepada Ibu sebagai kenang-kenangan dariku, serta sampaikan salam hormatku kepadanya dan katakan,  ‘Bersabarlah engkau menerima perintah Allah SWT.’ Dan jangan beri tahu kepadanya bahwa Ayah telah menyembelih diriku dengan mengikat tanganku. Jangan pula Ayah memasukkan anak-anak ke rumah Bun­da, agar kesedihannya tidak terlalu lama. Begitu juga, Ayah, janganlah engkau melihat anak seusiaku, karena nanti Ayah akan menyesal dan bersedih ter­hadapku.”

Mendengar permintaan anaknya itu, Nabi Ibrahim AS berkata, “Sebaik-baik penolong untuk melaksanakan perintah Allah ini adalah engkau, wahai anakku.”

Keduanya lalu bersiap untuk melak­sanakan perintah Allah SWT. Nabi Ibra­him AS sendiri yang membaringkan Nabi Ismail seperti membaringkan kambing yang akan disembelih. Ada juga yang mengisahkan, Nabi Ibrahim AS mene­lungkupkan wajah Ismail agar tidak me­lihat sesuatu yang akan menimbulkan perasaan kasih sayangnya, sehingga da­pat menghalanginya dari melaksana­kan perintah Allah. Peristiwa itu terjadi di satu sisi segumpalan batu besar yang terletak di Mina.

(Bersambung)

No comments:

Post a Comment