Dan sesungguhnya sujud kepada Nabi Adam AS di sini adalah pemuliaan dan penghormatan bagi beliau yang diperintahkan atas mereka. Dan Iblis sesungguhnya bagian dari hamba-hamba yang mentauhidkan Allah, tetapi sungguh tiada berguna baginya tauhidnya.
Bulan Dzulhijjah adalah bulan berjuta makna. Makna-makna dari setiap peristiwa pada bulan ini tak akan pernah habis digali dan senantiasa memenuhi setiap ruang hati dan pikiran siapa pun yang merindukan dirinya untuk menjadi seorang salik, peniti jalan kemuliaan menuju Allah SWT. Di antara peristiwa-peristiwa agung yang penuh makna di bulan ini adalah peristiwa penyembelihan hewan qurban, yang syari’at tahunan ini berkaitan erat dengan peristiwa pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dengan mengorbankan Nabi Isma‘il AS, putra tercinta dan terkasihnya, sebagai bentuk ketaatan yang tiada duanya dari seorang hamba kepada Tuhannya.Dikisahkan, Nabi Ibrahim AS dari waktu ke waktu datang ke Makkah untuk mengunjungi dan menjenguk putra tercintanya, Ismail, dan istri terkasihnya, Siti Hajar, untuk melepas rindu serta menenangkan rasa di hatinya dari gundah dan gelisah bila mengenang keadaan keduanya yang ditinggalkan di tempat nan tandus, jauh dari masyarakat dan pengaulan khalayak umum. Tak ada sesuatu pun yang bisa meredam duka dan pilu di hatinya selain ketaatan kepada Tuhannya.
Sewaktu Nabi Ismail AS telah mencapai usia remajanya, Nabi Ibrahim AS mendapat mimpi bahwa ia harus menyembelih Ismail, putranya. Nabi Ibrahim AS bangun dari tidurnya dalam keadaan terkejut dengan mimpinya yang aneh itu. Ia pun lalu memohon ampun dan perlindungan kepada Allah SWT dan kembali tidur. Namun mimpi yang seperti semula pun terjadi lagi. Nabi Ibrahim AS kembali terbangun, memohon ampun dan perlindungan kepada Allah SWT dan kembali tidur lagi. Akan tetapi, mimpinya kembali berulang dan masih tetap sama. Hingga Nabi Ibrahim pun yakin bahwa itu adalah perintah dari Allah SWT.
Nabi Ibrahim AS mengetahui bahwa perintah tersebut merupakan ujian yang harus ia jalani. Amat berat bagi Nabi Ibrahim AS untuk memberi tahu isi wahyu itu kepada Ismail. Ismail pada saat itu menginjak dewasa dan sudah mampu mencari nafkahnya sendiri. Nabi Ibrahim AS sangat senang karena Ismail sudah besar. Wajahnya teramat gagah dan tampan, pembawaanya lembut tapi penuh kharisma, perangainya riang dan menyenangkan. Semua keistimewaan putra tercintanya begitu membayang jelas di hadapan mata. Perasaan cinta dan kasih sayang sebagai seorang ayah terhadap putra tercinta tak dapat berbohong. Nabi Ibrahim memendam kesedihan yang mendalam.
Ketika Nabi Ibrahim AS hendak pergi melaksanakan penyembelihan putranya itu, ia berkata kepada Siti Hajar, “Wahai istriku, tolong kamu pakaikan anakmu Ismail pakaian yang paling baik dan bagus karena aku akan pergi berziarah dengannya.”
Siti Hajar pun memakaikan pakaian yang paling bagus kepada Ismail, memberinya minyak rambut, lalu menyisir rambutnya.
Kemudian, Nabi Ibrahim AS pergi bersama Ismail menuju suatu tempat di dekat Mina. Ia juga membawa tali dan pisau yang tajam.
Di perjalanan, Iblis terkutuk datang menggoda Nabi Ibrahim AS. Iblis berkata kepada Nabi Ibrahim, “Apakah kamu tidak memperhatikan badannya yang gagah, parasnya yang tampan, dan perilakunya yang santun?”
Nabi Ibrahim AS menjawab, “Ya, tetapi aku telah diperintah oleh Tuhanku untuk menyembelihnya.” Kemudian Nabi Ibrahim melempar Iblis dengan kerikil sehingga menjauhlah Iblis dari Nabi Ibrahim.
Karena putus asa sebab tidak dapat menggoda Nabi Ibrahim AS, Iblis terkutuk itu pun pergi menemui Siti Hajar dan berkata kepadanya, “Bagaimana mungkin kamu hanya duduk-duduk seperti ini sedangkan suamimu pergi dengan anakmu dan hendak menyembelihnya?”
Siti Hajar menjawab, “Jangan berdusta! Aku tahu, seorang ayah tidak akan sanggup menyembelih anaknya sendiri!”
Iblis berkata, “Suamimu membawa pergi anakmu sambil membawa tali dan pisau. Dia mengira, Tuhannya telah menyuruhnya untuk itu.”
Siti Hajar menjawab tegas, “Seorang nabi tidak akan diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu yang sia-sia. Tapi, jika memang Allah SWT telah memerintahkan perkara itu, aku sendiri bersedia untuk menurut perintah itu dengan jiwaku. Bukan hanya jiwaku, anakku tercinta pun rela kukorbankan demi Allah SWT!”. Siti Hajar pun mengambil kerikil dan melemparkannya ke wajah Iblis sehingga Iblis lari menjauh darinya.
Putus asa dari membujuk dan memperdaya Siti Hajar, Iblis pun pergi menemui Ismail, yang tengah duduk seorang diri di tepi jalan. Dia berkata, “Hai Ismail, kamu tampak bersenang-senang, sedangkan saat ini ayahmu membawa tali dan pisau untuk menyembelih diri-mu.”
“Jangan berdusta, hai Iblis. Mengapa ayahku hendak menyembelihku?” tanya Ismail.
“Dia mengira bahwa Tuhannya telah menyuruhnya demikian,” kata Iblis.
“Bila demikian, aku memperhatikan dan mentaati perintah Tuhanku!” kata Ismail.
Ketika Iblis hendak melontarkan kata-kata yang lain, terlebih dahulu Ismail AS mengambil batu lalu melemparkannya kepada Iblis sehingga menyebabkan mata Iblis yang kiri pecah dan menjadi buta. Setelah itu, barulah Iblis pergi. Peristiwa inilah yang melatarbelakangi perintah Allah SWT yang mewajibkan umat Islam untuk melemparkan batu (melempar jumrah) di tempat itu sebagai isyarat mengusir setan, seperti yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS, Siti Hajar, dan Nabi Ismail AS. Ketiga pelemparan itu kemudian dikenal dengan nama “Jumrah Aqabah”, “Jumrah Wustha”, dan “Jumrah Ula”.
Ketika sampai di Mina, Nabi Ibrahim AS sudah bulat untuk menyampaikan maksudnya mengajak Ismail ke tempat itu. Dengan kata-kata yang berat, Nabi Ibrahim AS berkata kepada Ismail, “Wahai anakku, aku mendengar dalam mimpiku bahwa Allah SWT memerintahkanku untuk menyembelih dirimu. Bagaimana pendapatmu?”
Maksud pertanyaan Nabi Ibrahim AS meminta pendapat Nabi Ismail tentang perintah dalam mimpinya itu untuk mengetahui apakah Ismail akan tabah dan sabar menerima perintah Allah SWT itu, atau justru ia akan menolaknya. Sekaligus sebagai ujian apakah Ismail akan menjawab dengan penuh perhatian dan taat kepada perintah Allah SWT atau tidak.
Keshalihan sang ayah turun dengan sempurna kepada sang anak tercinta. Dengan penuh perhatian dan tiada terlihat keraguan sedikit pun, Nabi Ismail AS menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang Allah SWT perintahkan kepadamu. Insya Allah Ayah akan mendapatkan aku sebagai orang yang sabar dalam menjalankan perintah Allah SWT.”
Dialog mengharukan antara seorang ayah yang teramat mencintai putranya dan seorang anak yang teramat patuh kepada ayahnya karena ketaatan kepada Tuhannya ini telah diabadikan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman, mengisahkan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail AS, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ‘Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.’
Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar’.” (QS Ash-Shaffat: 102).
Di kala mendengar jawaban dari putranya itu, Nabi Ibrahim AS tahu bahwa doanya telah dikabulkan oleh Allah SWT, ketika ia bermunajat, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Rabbi hablii minash-shalihiin (Ya Tuhanku, berikanlah aku anak yang shalih).” (QS Ash-Shaffat: 100). Lalu Nabi Ibrahim AS pun mengucapkan pujian dan syukur kepada Allah SWT.
Kemudian Ismail AS berkata, “Wahai Ayah, sebelum engkau melaksanakan tugasmu, aku ingin s
ampaikan beberapa pesanan kepada Ayah. Hendaklah Ayah mengikat tanganku agar aku tidak dapat bergerak-gerak karena mungkin aku akan menyakiti Ayah. Hadapkan wajahku ke tanah agar Ayah tidak dapat melihat wajahku sehingga merasa kasihan dan iba kepadaku. Hendaklah Ayah melipat kain ayah agar tidak terlumuri darah meskipun sedikit sehingga mengurangi pahalaku dan diketahui oleh Ibu hingga ia menjadi sedih. Hendaklah Ayah menajamkan pisau Ayah dan mempercepatkan penyembelihannya pada leherku agar aku tidak merasa terlalu sakit kerana sesungguhnya mati itu sakit sekali.
Hendaklah Ayah membawa bajuku kepada Ibu sebagai kenang-kenangan dariku, serta sampaikan salam hormatku kepadanya dan katakan, ‘Bersabarlah engkau menerima perintah Allah SWT.’ Dan jangan beri tahu kepadanya bahwa Ayah telah menyembelih diriku dengan mengikat tanganku. Jangan pula Ayah memasukkan anak-anak ke rumah Bunda, agar kesedihannya tidak terlalu lama. Begitu juga, Ayah, janganlah engkau melihat anak seusiaku, karena nanti Ayah akan menyesal dan bersedih terhadapku.”
Mendengar permintaan anaknya itu, Nabi Ibrahim AS berkata, “Sebaik-baik penolong untuk melaksanakan perintah Allah ini adalah engkau, wahai anakku.”
Keduanya lalu bersiap untuk melaksanakan perintah Allah SWT. Nabi Ibrahim AS sendiri yang membaringkan Nabi Ismail seperti membaringkan kambing yang akan disembelih. Ada juga yang mengisahkan, Nabi Ibrahim AS menelungkupkan wajah Ismail agar tidak melihat sesuatu yang akan menimbulkan perasaan kasih sayangnya, sehingga dapat menghalanginya dari melaksanakan perintah Allah. Peristiwa itu terjadi di satu sisi segumpalan batu besar yang terletak di Mina.
(Bersambung)
No comments:
Post a Comment