Sebelum tamu mohon diri melangkah ke pintu keluar, ia bergegas menyiapkan sendal atau sepatu tamunya, hingga sang tamu tak kuasa menahan malu dan menangis melihat penghormatan seorang ulama mumpuni kepada tamu yang tak terpandang.
Sejak berabad-abad yang lalu, Syam, termasuk Suriah di dalamnya, telah menjadi salah satu negeri Islam yang sangat banyak menghasilkan para tokoh ulama. Itu terus berlangsung hingga abad-abad belakangan, sampai kini. Negeri yang sekarang dilanda konflik dalam negeri yang mengkhawatirkan ini tak pernah kehabisan stok ulama-ulama terkemuka. Sayangnya, banyak di antara kita yang tidak begitu mengenal para tokoh ulama mereka, terutama yang hidup dalam beberapa abad terakhir hingga masa kini.Karena itulah, uraian berikut ini akan menyajikan kepada Anda tiga tokoh ulama terkemuka Suriah abad ke-20, dua di antaranya telah berpulang ke rahmatullah dan yang satu lagi masih diberi nikmat kehidupan di usia menjelang 100 tahun. Ketiganya adalah tokoh ulama sufi terkemuka yang sesungguhnya cukup dikenal di dunia Islam, meskipun kita belum mengenalnya, bahkan sebagian kita mungkin mendengar namanya pun belum.
Syaikh Abdurrahman Asy-Syaghuri
Yang pertama adalah Syaikh Abdurrahman Asy-Syaghuri. Namanya biasanya ditulis Shaykh ‘Abd al Rahman al Shaghouri sesuai ejaan yang lazim di dunia internasional, namun selanjutnya ditulis Syaikh Abdurrahman Asy-Syaghuri sesuai transliterasi alKisah. Ia telah kembali kepada Sang Pencipta pada hari Selasa 20 Rabi`ul Akhirah 1425 (8 Juni 2004).
Semasa hidupnya, hari Selasa adalah hari ber-suhbah dan berziarah ke rumahnya di Hay Al-Muhajirin, Damaskus. Allah SWT menghendaki pada hari yang sama ia kembali kepada-Nya, tepat ketika para pecintanya akan berziarah kepadanya. Dua hari sebelum kepulangannya, dalam keadaan terbaring di Rumah Sakit Sinan (Maysaat, Rukn Al-Din) masih sempat Syaikh mendengarkan nasyid kesayangannya dengan walkman-nya. Ribuan pelayat menemani jasadnya dari Jami‘ Asy-Syaikh Al-Akbar Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi untuk dishalatkan, setelah itu menuju pemakaman di Hay Al-Muhajirin, Damaskus.
Habib Ali Al-Jufri, dai muda dari Hadhramaut, datang langsung dari Dubai, Emirat Arab, untuk memimpin shalat Jenazah sang Syaikh. Tampak di dalam masjid itu satu peti mati kecil mengambang di atas para pelayat yang berdesakan dan riuh gemuruh larut dalam kesedihan mengantar sang Syaikh.
Syaikh Abdurrahman bertubuh kecil, kurus, dan berkulit agak putih. Kelopak matanya cekung melebar ke dalam, bola matanya terlihat kecil, pelipisnya dihiasi tulang kepala, bibirnya merah manis dan sangat ekspresif. Berjenggot tebal untuk ukurannya dan sebagian besar telah berwarna putih. Biasa ia mengenakan peci berwarna merah, yang dikenal dengan sebutan turbus Fes, dan terlilit imamah (sorban) pendek berwarna putih berajut kuning keemasan. Kadang dengan jas, kadang jas panjang hingga lututnya serta rompi tanpa dasi. Sangat sederhana, tidak seperti ulama Syam pada umumnya yang berhias dengan sorban khas lengkap dengan jubbah ‘ali (sebutan jubah khas ulama Syam).
Syaikh ‘Abdurrahman, yang lahir di kota Homs tahun 1328 H (1910 M), kota yang tak begitu jauh dari Damaskus, termasuk keturunan ahlul bayt Rasulullah. Kariernya beragam warna. Ia pernah menjadi tukang rajut, mekanik, teknisi, hingga menjadi pengawas eksekutif industri tekstil.
Ketika perindustrian tekstil dinasionalisasikan oleh pemerintah sosialis, ia katakan kepada pemerintah bahwa “nasionalisasi atas industri tekstil adalah bentuk pencurian”. Ia pernah memimpin mogok kerja para buruh tekstil se-Suriah selama 40 hari untuk upah kompensasi para buruh. Ia memang pernah menjadi wakil buruh Suriah untuk organisasi buruh se-Timur Tengah, dan aktif pada kehidupan masyarakat umum.
Di forum para sastrawan, ia dikenal sebagai penyair andal. Sebagai penyair sufi, ia menggubah syair-syair bernapaskan tasawuf, yang menjadi salah satu adikarya di dunia sastra Islam abad ini.
Beragam kariernya itu dijalani hingga ia istiqamah mengajar di institusi Islam, khususnya bidang aqidah (seperti di Ma‘had Syaikh Badruddin Al-Hasani, Damaskus), hingga berumur 80 tahunan. Aktivitasnya juga dihiasi dengan kesibukan mengajar ilmu-ilmu keislaman di luar ma‘had Islam.
Ia terkenal sebagai salah satu syaikh sufi yang mumpuni. Hingga di dunia Barat pun namanya terdengar sebagaimana murid-muridnya tersebar ke beragam penjuru dunia. Ia adalah seorang ulama bermazhab Syafi‘i, penganut aqidah Asy‘ariyah, dan mursyid Thariqah Syadziliyah Darqawiyyah.
Pada bulan Rabi‘ul Awwal tahun 1425 H, ia mendapat anugerah pengakuan untuk jasa besar terhadap umat Nabi Muhammad SAW yang diberikan di acara tahunan ’’Anugerah Burdah’’.
Bisa disimpulkan bahwa ia adalah pekerja, penyair, pejuang, pecinta Rasulullah SAW, dan bagian dari ulama muhaqqiq (pentahqiq). Melihat dirinya seperti melihat satu paket keulamaan yang sangat komplet dan mumpuni. “Terangkatnya beliau adalah terangkatnya referensi-referensi hidup, sebuah perpustakaan di negeri Syam. Telah pergi Quthbul Irsyad, bintang dari kebahagiaan, Syaikh Al-‘Ilm, dan imam dari kaum salafush shalih (yang ada saat ini), dan contoh bagi para salik dari kaum ‘abidin (ahli ibadah),” kata Syaikh Muhammad Al-Ya‘qubi Al-Hasani.
Syaikh Abdurrahman adalah ulama yang mengamalkan apa yang diketahuinya. Di sinilah kemurnian atau jatidiri sesungguhnya seorang ulama tersingkap. Ketika ia memiliki ilmu, ilmu itu menjadi praksis. Lain halnya dengan kaum yang mampu berbicara dan berdialektika akan ilmu Islam atau tasawuf khususnya tetapi miskin dari pengejawantahan. Syaikh tetap konsisten mengajak umat untuk berjalan mengikuti para salaf ash-shalih berpegang teguh pada sendi-sendi syari’ah Islam, selalu menggandengkan ilmu dengan amal. Tanpa amal, apalah arti seorang ulama, layaknya keledai dengan berkarung-karung kitab.”
Syaikh Nuh Ha Mim Keller, salah seorang murid Syaikh Abdurrahman yang berasal dari Amerika Utara, menuturkan kenangan lamanya ketika menemani Syaikh Abdurrahman belanja ’’janggal’’ di Pasar Al-Jumu‘ah, Rukn Al-Din. “Dua puluh dua tahun yang lampau, kami keluar bersama beliau (Syaikh Abdurrahman) dari maqam Asy-Shaikh Al-Akbar (Muhyiddin Ibn Arabi), dan saya perhatikan sekilas ketika beliau berhenti sejenak untuk membeli beberapa buah apel dari pedagang dorongan yang berada di depan masjid. Beliau mengambil kantung plastik dari si penjual dan menaruh apel-apel paling buruk yang bisa beliau dapatkan, busuk dan berlubang dimakan ulat, sebagaimana beliau pilih dengan hati-hati hingga beliau bayar dan bersalaman dengan senyum terhadap si penjual sebelum kami pergi ke rumah Syaikh di atas bukit.
Ketika perjalanan menanjak semakin tinggi dan tinggi, saya ingin membawa kantung (berisi apel tersebut), tetapi beliau tidak mengizinkan saya. Beliau mengatakan bahwa Nabi SAW berkata, ’Seseorang yang butuh sesuatu, dialah yang harus membawanya.’
Ketika merenungkan belanja janggalnya, saya sadari bahwa apa yang ia lakukan menyelamatkan si penjual apel dari membuang apel-apelnya. Kejadian ini menyimpulkan kehidupan dan kepribadian Syaikh yang berdasar pada ‘mendahulukan kepentingan orang lain’.
(Bersambung)
Pasang iklan dilihat ribuan orang? klik > murah dan tepat sasaran">Serbuanads >> MURAH dan TEPAT SASARAN
No comments:
Post a Comment