Dan sesungguhnya sujud kepada Nabi Adam AS di sini adalah pemuliaan dan penghormatan bagi beliau yang diperintahkan atas mereka. Dan Iblis sesungguhnya bagian dari hamba-hamba yang mentauhidkan Allah, tetapi sungguh tiada berguna baginya tauhidnya.
Dalam hal ini sesungguhnya mereka lupa dan bodoh terhadap makna bahwa sesungguhnya pengagungan terhadap Nabi SAW tidak lain semata-mata menunaikan perintah Allah SWT. Kita mengagungkan Nabi SAW karena Allah telah mengagungkan Nabi SAW dan memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengagungkan beliau SAW. Mudahnya, bila kita mengagungkan Nabi SAW, berarti kita mengikuti jejak para malaikat, Nabi Ibrahim AS, dan orang-orang yang mengikuti mereka, yang taat dan patuh kepada perintah Allah SWT. Dan bila kita berbuat sebaliknya, dengan meremehkan makna keagungan yang telah Allah berikan kepada Nabi SAW, kita telah mengikuti jejak Iblis, yang terusir dari rahmat Allah karena menimbang perkara agama dengan akal pikirannya yang sempit. Na’udzu billah tsumma na’udzu billah.Untuk lebih memahami makna pengagungan antara makna adab dan ibadah, yang keduanya merupakan hakikat sesungguhnya dari penghambaan dan ibadah kepada Allah SWT, mari kita renungi dan cermati apa yang diungkapkan oleh Sayyidina Abuya Muhammad bin Alawi Al-Maliki, dalam kitabnya Mafahim yajib an-tushahhah.
Ia berkata, “Banyak orang salah dalam memahami hakikat ta`zhim (pengagungan) dan hakikat ibadah, sehingga mereka mencampuradukkan antara keduanya secara jelas dan nyata. Mereka memandang segala bentuk pengagungan adalah ibadah kepada Yang Mahaagung. Berdiri, mencium tangan, mengagungkan Nabi SAW dengan ucapan ‘Sayyidina dan Maulana (Penghulu dan Junjungan kami)’, berdiri di hadapan makam beliau pada saat ziarah dengan penuh adab dan rendah diri, dalam pandangan mereka semua itu adalah ghuluw (perilaku berlebihan) yang mengarah kepada beribadah kepada selain Allah SWT. Ini semua pada hakikatnya adalah kebodohan dan keingkaran yang tidak diridhai oleh Allah SWT dan perbuatan tidak berdasar yang ditolak oleh ruh syari’at Islam.
Adalah Adam AS manusia pertama dan hamba Allah pertama dari para hamba Allah yang shalih dari kalangan manusia. Allah perintahkan para malaikat untuk bersujud kepadanya sebagai penghormatan dan pengagungan baginya karena apa yang telah Allah anugerahkan kepadanya dari ilmu sekaligus juga sebagai pemberitahuan kepada mereka tentang kesuciannya di antara segenap makhluk-Nya.
Allah SWT berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian semua kepada Adam, maka mereka pun bersujud, kecuali Iblis. Ia berkata: Apakah aku bersujud kepada makhluk yang Engkau ciptakan dari tanah? Iblis berkata: Terangkanlah kepadaku, inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?’.” (QS Al-Isra’: 61-62). Dan pada ayat yang lain Iblis berkata, “Aku lebih baik daripadanya. Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah.” (QS Al-A`raf: 12). Dan pada ayat yang lain lagi Allah SWT berfirman, “Maka bersujudlah seluruh malaikat itu bersama-sama kecuali Iblis. Dia enggan untuk (ikut bersujud) bersama mereka yang sujud itu.” (QS Al-Hijr: 30-31).
Di sini, para malaikat mengagungkan siapa yang Allah agungkan sedangkan Iblis menyombongkan diri dari sujud kepada makhluk (Nabi Adam AS) yang diciptakan dari tanah. Iblis adalah makhluk pertama yang menimbang perkara agama hanya dengan pikirannya dan berkata, “Aku lebih baik darinya.” Dia mendasarkan pikirannya itu dengan dalil penciptaan dirinya yang tercipta dari api dan penciptaan Nabi Adam AS yang berasal dari tanah. Dengan pendasaran semacam itu, Iblis menganggap remeh perkara penghormatan terhadap Nabi Adam AS dan menolak sujud kepadanya. Dengan itu, Iblis adalah makhluk pertama yang menyombongkan dirinya. Ia tidak mengagungkan siapa yang Allah agungkan sehingga Iblis diusir dari rahmat Allah SWT karena kesombongannya terhadap hamba yang shalih ini (Nabi Adam AS). Dalam konteks ini, apa yang diperbuat Iblis itu sesungguhnya hakikat takabur (kesombongan) terhadap Allah SWT, karena sesungguhnya sujud kepada Nabi Adam AS itu tidak lain semata-mata karena perintah Allah SWT. Dan sesungguhnya sujud kepada Nabi Adam AS di sini adalah pemuliaan dan penghormatan baginya yang diperintahkan atas mereka. Dan Iblis sesungguhnya bagian dari hamba-hamba yang mentauhidkan Allah, tetapi sungguh tiada berguna baginya tauhidnya.
Di antara penjelasan yang menerangkan ihwal pengagungan terhadap para shalihin adalah firman Allah SWT yang mengisahkan Nabi Yusuf AS, “Dan ia menaikkan kedua ibu-bapaknya ke atas singgasana. Dan mereka semua merebahkan diri seraya bersujud kepada Yusuf.” (QS Yusuf: 100). Mereka, para saudara Nabi Yusuf AS, sujud kepada Nabi Yusuf AS sebagai penghormatan dan pengagungan baginya. Dan sujud para saudara Nabi Yusuf AS kepadanya dijelaskan dalam firman Allah SWT “Wa kharruu (dan mereka bersujud)”, yang sujud semacam demikian dibolehkan dalam syari’at mereka, atau seperti sujudnya para malaikat kepada Nabi Adam AS sebagai bentuk penghormatan dan pengagungan serta menjalankan perintah Allah SWT, yang itu adalah tafsir dari mimpi Nabi Yusuf AS, sedangkan mimpi para nabi adalah wahyu.
Adapun mengenai nabi kita, Sayyidina Muhammad SAW, Allah SWT berfirman pada hak beliau SAW, “Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk jadi saksi dan pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. Supaya kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkannya dan membesarkannya....” (QS Al-Fath: 8-9). Allah juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya....” (QS Al-Hujarat: 1). Firman-Nya juga, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian lebih dari suara Nabi....” (QS Al-Hujarat: 2). Allah pun berfirman, “Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebahagian kalian kepada sebahagian yang lain....” (QS An-Nur: 63).
Allah SWT melarang untuk berbuat lancang di hadapan beliau SAW, baik dengan ucapan maupun dengan adab yang buruk dengan mendahului beliau SAW berkata-kata.
Abu Muhammad Makki berkata, “Yakni, jangan mendahului beliau dalam pembicaraan, jangan berkata kasar kepada beliau, dan jangan memanggil beliau seperti kalian memanggil sebagian kalian yang lain. Akan tetapi, agungkanlah beliau, besarkan beliau, dan panggillah beliau dengan panggilan yang paling mulia yang beliau sukai untuk dipanggil dengan panggilan itu, yaitu ‘Wahai Rasulullah... wahai Nabi Allah...’. Yang demikian ini sebagaimana firman Allah SWT, ‘Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebahagian kalian kepada sebahagian yang lain...’ (QS An-Nur: 63).” Ayat ini turun karena ada sekelompok orang yang mendatagi Nabi SAW dan berseru, “Hai Muhammad, keluarlah dan temui kami.” Allah menghardik mereka dengan mensifati mereka dengan kejahilan dan menegaskan bahwa kebanyakan mereka tidak memiliki akal.
Amr bin ‘Ash RA berkata, “Tiada seorang pun yang lebih aku cintai daripada Rasulullah SAW dan tiada seorang pun lebih agung di mataku daripada beliau SAW. Sungguh aku tiada sanggup untuk memenuhi pandangan mataku pada beliau sebagai penggagunganku kepada beliau SAW. Dan bila saja aku diminta untuk mensifati beliau, sungguh aku tiada sanggup melakukannya, karena aku tidak dapat memenuhi pandangan mataku pada beliau SAW.” (HR Muslim).
Urwah bin Mas‘ud berkata kepada orang-orang Quraisy, “Wahai segenap orang Quraisy, sungguh aku telah mendatangi Kisra di kerajaannya dan Kaisar di kerajaannya dan juga N
ajasyi di istananya. Demi Allah, aku tidak pernah sekali pun melihat seorang raja di tengah rakyatnya seperti Muhammad di antara para sahabatnya.” Ungkapan ini dikatakan oleh Urwah setelah ia datang bersama serombongan Quraisy menghadap Nabi SAW pada peristiwa Qadhiyyah. Ia menyaksikan bagaimana pengagungan para sahabat kepada Rasulullah SAW, yang tidaklah Rasulullah SAW berwudhu kecuali mereka berebut sisa air wudhu Nabi SAW, seolah mereka hendak saling membunuh untuk mendapatkan bekas wudhu beliau SAW, dan tidak pula Nabi SAW meludah atau membuang riak kecuali para sahabat saling berebut untuk mendapatkan ludah mulia Rasulullah SAW dan mengusapkannya ke wajah dan badan mereka, tidak pula jatuh sehelai rambut pun dari rambut Rasulullah SAW kecuali mereka saling berebut mendapatkannya. Jika beliau memerintahkan sesuatu, mereka bersegera menunaikan perintahnya. Bila beliau berbicara, mereka merendahkan suara mereka di hadapan beliau dan tidak menghadapkan pandangan mereka ke arah beliau karena mengagungkan beliau....
Kesimpulannya, di sini terdapat dua perkara agung yang harus diperhatikan dengan sebaik-baiknya. Pertama, kewajiban mengagungkan Nabi SAW dan meninggikan kedudukan beliau SAW di atas sekalian makhluk. Kedua, memurnikan ketuhanan dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah SWT Maha Esa pada dzat-Nya, sifat-sifat-Nya, dan pada perbuatan-perbuatan-Nya dari sekalian makhluk-Nya. Barang siapa meyakini adanya kebersekutuan makhluk pada Tuhan Yang Maha Pencipta SWT pada semua itu, ia telah berbuat syirik, seperti orang-orang musyrik yang meyakini adanya sifat ketuhanan pada sekalian berhala dan kepatutannya untuk disembah. Dan barang siapa yang merendahkan Nabi SAW pada sesuatu dari kedudukan beliau SAW, sungguh orang itu telah berbuat maksiat atau bahkan kafir.
Adapun siapa yang berbuat semaksimal mungkin dalam mengagungkan Nabi SAW dengan berbagai macam bentuk pengagungan dan tidak mensifati beliau SAW dengan sesuatu dari sifat-sifat Al-Bari (Yang Maha Pencipta) SWT, sungguh orang itu telah melakukan kebenaran dan telah menjaga sisi ketuhanan dan risalah seluruhnya. Yang demikian itulah pandangan yang tiada keekstreman di dalamnya.
Bila di dalam ungkapan kaum mukminin terdapat penyandaran (isnad) sesuatu kepada selain Allah SWT, kita wajib memaknai ungkapan itu kepada majaz ‘aqli (makna yang tidak sesungguhnya, bukan makna hakiki) dan tidak ada jalan (thariq) untuk mengkafirkan mereka. Karena majaz aqli telah digunakan dalam Al-Qur’an.
MS
Pasang iklan dilihat ribuan orang? klik > murah dan tepat sasaran">Serbuanads >> MURAH dan TEPAT SASARAN
No comments:
Post a Comment