Kemudian kaum muslimin berselisih pada persoalan imamah (kepemimpinan) sepeninggal Rasulullah SAW. Perselisihan mengenai imamah inilah yang merupakan perselisihan paling besar yang terjadi di tengah umat yang kemudian melahirkan perselisihan dan perpecahan besar lainnya di tengah-tengah umat.
Sesungguhnya kaum muslimin pada saat Rasulullah SAW wafat berada di atas satu manhaj dalam masalah ushuluddin dan furu‘nya, selain mereka yang menampakkan kesamaan dan menyembunyikan kemunafikan.Perselisihan yang pertama kali terjadi di tengah kaum muslimin berkaitan dengan kematian Nabi SAW. Sebagian beranggapan bahwa Nabi SAW tidak wafat, akan tetapi Allah hanya mengangkat beliau ke sisi-Nya sebagaimana diangkatnya Nabi Isa Ibnu Maryam AS. Ada pula yang beranggapan bahwa Nabi SAW hanya pergi untuk sementara waktu seperti halnya Nabi Musa AS pergi meninggalkan kaumnya selama empat puluh hari.
Namun perselisihan ini hilang dan semua mengakui kematian Nabi SAW ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq RA membacakan kepada mereka firman Allah SWT kepada Nabi-Nya, “Sesungguhnya engkau akan mati dan mereka akan mati (pula).” — QS Az-Zumar: 30. Dan dalam riwayat lain Abu Bakar RA membacakan firman Allah SWT, “Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik, ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun juga, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur — QS Ali Imran: 144.”
Ketika Rasulullah SAW wafat, kesedihan dan duka yang teramat mendalam menyelimuti seluruh hati kaum muslimin. Banyak di antara mereka yang tidak menerima berita wafatnya Nabi SAW.
Orang yang paling keras menentang berita wafatnya Rasulullah SAW adalah Umar bin Khaththab RA. Umar bin Khaththab, yang sepanjang hidupnya selalu berada di samping Rasulullah SAW, tidak menerima bila dikatakan bahwa Nabi SAW telah wafat. Saat berita itu didengarnya, Umar diam mematung dan tak berkata sepatah kata pun. Lalu, seolah tak sadar, ia berdiri dan berjalan menuju kerumunan kaum muslimin saat itu. Ia kemudian berkata dengan suara lantang di hadapan mereka, “Sesungguhnya beberapa orang munafik telah menganggap bahwa Muhammad telah wafat, meninggalkan dunia. Tidak, sesungguhnya beliau tidak meninggal, tetapi pergi ke hadapan Tuhannya, seperti yang dilakukan Musa, yang pergi selama empat puluh hari dari kaumnya, lalu kembali lagi kepada mereka. Demi Allah, sesungguhnya Rasulullah SAW akan kembali. Barang siapa mengatakan beliau sudah wafat, akan kupenggal kedua kaki dan tangannya.”
Abu Bakar pun datang dan menyuruh Umar duduk, tetapi ia tidak mau duduk. Lalu Abu Bakar mengucapkan syahadat dengan suara yang lantang sehingga orang-orang berpaling kepadanya dan mengabaikan Umar.
Sayyidina Abu Bakar kemudian melanjutkan khutbahnya, “Amma ba`du, barang siapa menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Barang siapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha hidup, tidak akan mati. Allah SWT berfirman, ‘Dan Muhammad tidak lain hanyalah seorang rasul. Telah berlalu sebelumnya beberapa rasul. Apakah jika ia wafat atau terbunuh, kalian berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik, ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun juga, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.’ — QS Ali Imran: 144.”
Dengan adanya khuthbah Abu Bakar Ash-Shiddiq itu kaum muslimin pun kembali kepada satu pendapat yang mengakui bahwa Rasulullah SAW telah wafat.
Namun setelah itu kaum muslimin kembali berselisih pendapat mengenai penguburan Nabi SAW. Para penduduk Makkah menghendaki agar jasad suci Nabi SAW dikembalikan ke Makkah karena Makkah adalah tempat kelahiran beliau, tempat beliau diangkat menjadi nabi, kiblat beliau SAW, asal-muasal sisilah beliau, dan di sana pula terdapat makam kakek beliau, Nabi Ismail AS. Tapi kaum muslimin Madinah menghendaki agar beliau SAW dimakamkan di Madinah karena Madinah adalah negeri hijrah beliau dan negeri para pengikut setia beliau. Sebagian yang lain menghendaki agar Nabi SAW dipindahkan ke Al-Quds, Palestina, dan agar beliau nantinya dimakamkan di Baitul Maqdis di samping makam kakek beliau, Nabi Ibrahim Al-Khalil AS. Khilaf ini pun hilang setelah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA kembali menyampaikan sabda Nabi SAW kepada mereka, beliau bersabda, “Sesungguhnya para nabi dikebumikan di mana mereka diambil nyawanya.” (HR At-Tirmidzi, Malik, dan Ibnu Majah dengan lafazh, “Tidaklah seorang nabi dicabut nyawanya, kecuali dikebumikan di tempat ia dicabut nyawanya itu.”). Kemudian kaum muslimin pun memakamkan Nabi SAW di kamar rumah kediaman beliau SAW di Madinah.
Lalu kaum muslimin berselisih pada persoalan imamah (kepemimpinan) sepeninggal Rasulullah SAW. Perselisihan mengenai imamah inilah yang merupakan perselisihan paling besar yang terjadi di tengah umat yang kemudian melahirkan perselisihan dan perpecahan besar lainnya di tengah-tengah umat.
Rasulullah SAW wafat pada hari Senin, 12 Rabi‘ul Awwal 11 H/19 Juni 632 M. Kepergiannya meninggalkan kepedihan yang mendalam di setiap hati umat Islam. Mereka semua terguncang hebat. Kesedihan dan duka yang mendalam melahirkan kepanikan. Semua orang mencari-cari, siapakah kini yang paling layak memimpin mereka? Siapakah manusia terbaik yang paling layak menjadi panutan dalam segala urusan mereka, manusia utama yang mesti mereka taati perintahnya?
Tak ada seorang pun yang tahu. Tak ada seorang pun yang merasa yakin, karena Nabi SAW pergi tanpa meninggalkan pesan kepemimpinan. Beliau meninggalkan umat tanpa mengabarkan wasiat tentang siapa yang layak menjadi sang pengganti.
Pendapat umat terbagi ke dalam dua arus utama, pandangan kaum Muhajirin dan Anshar. Masing-masing berpandangan, kelompok merekalah yang paling layak memimpin seluruh umat. Tak ada yang memungkiri, kedua golongan itu sama-sama memiliki kemuliaan dan keistimewaan. Mereka semua adalah sahabat-sahabat terbaik Rasulullah SAW.
Kalangan Muhajirin adalah orang-orang yang paling awal mengikuti Rasulullah SAW. Mereka beriman ketika manusia lain tetap terlelap dalam kesesatan. Mereka tunduk dan patuh kepada Rasulullah SAW saat semua orang tenggelam dalam pengingkaran. Mereka berjuang mendampingi Rasulullah SAW menegakkan kebenaran. Mereka berhijrah meninggalkan harta dan sanak keluarga demi tegaknya keagungan Islam.
Tapi juga tak seorang pun layak meremehkan peran kaum Anshar. Merekalah penolong sejati. Mereka korbankan harta, jiwa, dan raga mereka demi kelangsungan dakwah Islam. Mereka tak pantang berbagi dengan saudara yang baru mereka kenal. Mereka berikan segala yang mereka miliki, berupa harta, kebun, rumah, bahkan istri, untuk saudara yang baru mereka temui, tanpa rasa segan dan penyesalan. Sungguh berkat ketulusan dan perjuagan mereka, dakwah Islam menyebar ke seantero jazirah.
Karena itulah, Muhajirin maupun Anshar merasa bahwa kelompok merekalah yang paling layak melanjutkan kepemimipinan.
Beberapa saat setelah Rasulullah wafat kaum Anshar bekumpul di Aula (Saqifah) Bani Saidah. Mereka menghendaki, kepemimpinan umat dibagi dua, untuk Muhajirin dan Anshar. Langkah pertama mereka memilih Sa’ad bin Ubadah, pemimpin suku Khazraj, sebagai pemimpin Anshar. Kemudian mereka mengabarkan kepada kaum Muhajirin agar menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin Muhajirin.
Ketika kabar mengenai berkumpulnya kaum Anshar itu didengar kaum Muhajirin, mereka berkata, “Ayo, kita temui saudara-saudara kita kaum Anshar.”
p>
Beberapa orang dari kaum Muhajirin bergegas pergi ke tempat perkumpulan kaum Anshar.
Di tengah perjalanan mereka bertemu dua orang shalih dari golongan Anshar. Keduanya mengetahui apa yang baru saja diputuskan oleh kaum Anshar sehingga mereka bertannya, “Wahai kaum Muhajirin, ke mana kalian hendak pergi?”
Rombongan Muhajirin menjawab, “Kami hendak menemui saudara-saudara kami, kaum Anshar.”
“Tidak, sebaiknya kalian tidak pergi ke sana. Lebih baik kalian menyelesaikan urusan kalian sendiri.”
Umar RA berkata, “Demi Allah, aku akan menemui mereka.”
Rombongan Muhajirin meneruskan langkah mereka hingga akhirnya tiba di Saqifah Bani Saidah.
Di tengah-tengah kaum Anshar berdiri seorang laki-laki.
Umar RA bertannya, “Siapakah laki-laki itu?”
Mereka menjawab, “Sa’ad bin Ubadah.”
“Sedang apa dia?”
“Kita lihat saja apa yang akan terjadi.”
Para Muhajirin itu duduk untuk menyaksikan.
(Bersambung)
Pasang iklan dilihat ribuan orang? klik > murah dan tepat sasaran">Serbuanads >> MURAH dan TEPAT SASARAN
pak sambungan nya mana ?
ReplyDelete