Thursday, August 13, 2009

Berjihad Kok Melanggar Syari’at?



Apakah bunuh diri dan membunuh warga biasa termasuk jihad?



Setiap terjadi peristiwa kekerasan berupa peledakan dengan bom bunuh diri, seperti yang terjadi di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot pada 17 Juli lalu, sering agama Islam dan ajaran jihad dijadikan justifikasi. Padahal Rasulullah SAW setiap melepas pasukan kaum muslimin berjihad selalu berpesan, “Dengan nama Allah, dengan disertai Allah, di jalan Allah, dan atas sunnah Rasulullah, janganlah kalian berlebihan mengambil barang rampasan tanpa seizin pemimpin pasukan. Janganlah kalian berkhianat, dan jangan pula menganiaya musuh. Jangan membunuh anak-anak, wanita, dan laki-laki yang telah tua.” (HR Ath-Thabrani dan Abu Dawud).

Dalam bukunya Menggugat Al-Qaidah, pendiri Al-Qaidah dan amir gerakan Al-Jihad, Sayyid Imam Abd Al-Azis Al-Sharif, atau Dr. Fadl, memberikan pendapatnya tentang jihad yang dilakukan oleh berbagai kelompok garis keras, termasuk Al-Qaidah, pimpinan Osama Bin Laden. Intinya, dalam jihad yang sering diklaim di jalan Allah justru terjadi hal-hal yang bertentangan dengan syari’at.

Abad Pertengahan tercatat dalam tarikh sebagai abad kegemilangan Islam. Ilmu pengetahuan begitu bersinar kemilau. Demikian juga penguasaan teritorial, mulai dari Bangladesh di timur sampai ke Andalusia di sebelah barat. Di belahan dunia lainnya negara Islam terbentang dari Tanzania, Azerbaijan, dan Kaukus di sebelah timur, hingga Yaman dan Bahrain di sebelah utara.

Wilayah-wilayah muslim ini semuanya berada dalam satu negara yang menginspirasi dunia. Negara Islam ini bertahan selama 1.300 tahun hingga jatuhnya Kekhalifahan Utsmani pada Perang Dunia I (1914-1918). Itu terjadi seiring dengan melemahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan berbagai aspek kehidupan lainnya, termasuk melemahnya dzikir kaum muslimin dalam rangka mengingat dan mengagungkan kebesaran Allah SWT. Akibatnya kaum muslimin pun terpencar di mana-mana dalam keadaan lemah.

Melemahnya Kekhalifahan Utsmani pada akhir abad kesembilan menyebabkan negara-negara Eropa muncul sebagai kekuatan baru yang menguasai sebagian besar wilayah Islam ini. Negara-negara Islam dibagi-bagi dan dipecah belah, diserobot sumber dayanya, dihambat kemajuan industrinya, dilemahkan secara politik, ekonomi, budaya, dan pengaruhnya.

Melalui pendudukan militer, penguasa Eropa memaksakan sistem politik, ekonomi, hukum, dan budaya sekuler pada negara-negara muslim. Kemudian, negara-negara Eropa menciptakan sebuah negara untuk kaum Zionis Yahudi di jantung dunia Islam, Israel. Tujuannya hanya satu, yakni melemahkan dan mempermalukan dunia Islam.

Meningkatnya pengaruh sistem politik, ekonomi, budaya, dan pemaksaan hukum sekuler oleh negara-negara Eropa menyebabkan terjadinya kerusakan moral secara massal di negara-negara muslim. Karenanya kaum muslimin memerlukan perbaikan, dengan cara kembali pada tuntunan syari’at, sebelum kerusakan dan kemurkaan ditimpakan Allah SWT.

Umat Islam meyakini, kembalinya negara-negara Islam pada tuntunan syari’at merupakan dasar bagi semua perbaikan. Bagi setiap muslim, melaksanakan tuntunan syari’at merupakan cermin keimanan dalam menjalankan perintah Allah SWT.

Melalaikan syari’at Allah adalah sumber keruntuhan umat Islam di dunia dan akhirat. Sebaliknya, dengan menjalankan syari’at Allah, umat Islam akan mulia di dunia dan akhirat. Allah SWT menjanjikan dalam firman-Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf: 96).

Sejarah kegemilangan umat Islam di masa lalu merupakan bukti kuat bahwa kaum muslimin memiliki prospek dan kejayaan ketika menjalankan syari’at Allah. Sejarah gemilang Islam ini hanya satu dari sekian banyak kebanggaan yang dapat dilukiskan oleh kaum muslimin di masa sekarang.

Melanggar Prinsip-prinsip Islam
Beberapa tahun terakhir, sebagai upaya untuk melawan penghinaan dan tekanan, sebagian kaum muslimin menempuh cara yang berbeda dalam menjalankan syari’at. Sejumlah gerakan Islam melancarkan peperangan atas nama jihad di jalan Allah SWT dalam mempertahankan keislamannya. Perang yang dikobarkan memperoleh legitimasi dari negara, bangsa, atau kekuatan bersenjata mereka. Peperangan terjadi di negara-negara yang berbeda dari timur sampai barat.

Sayangnya, dalam perang ini terjadi pelanggaran syari’at atau prinsip-prinsip Islam dalam perang. Misalnya membunuh atas dasar kebangsaan, ras, dan suku; membunuh muslim dan nonmuslim yang seharusnya tidak boleh dibunuh; menjadikan warga sipil sebagai tameng; dan lain-lain.

Padahal menumpahkan darah tanpa alasan yang benar sesuai tuntunan syar’i, misalnya, menjadi penyebab kemurkaan Allah SWT. Inilah bentuk penistaan dan kegagalan dalam menjaga nilai-nilai kemanusiaan, yang harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Umat Islam yang mengetahui terjadinya pelanggaran syari’at dan kecurangan dalam praktek jihad mesti berusaha mengikat diri bersama umat Islam lain pada jihad yang benar. Sangat diperlukan komitmen tegas dalam menjalankan jihad sesuai syari’at Islam. Apalagi jihad merupakan amanah keagamaan yang berkesinambungan bagi kaum muslimin. Rasulullah SAW menjelaskan dalam haditsnya bahwa jihad merupakan puncak perjuangan umat Islam.

Allah SWT pun memberkahi kaum muslimin yang menjalankan perintah jihad untuk membela agamanya dengan kebanggaan, kebahagiaan, kenikmatan dunia-akhirat. Karena itu penting bagi umat Islam untuk memahami jihad dengan benar.

Jihad yang Benar
Makna Islam adalah istislam, berasal dari bahasa Arab, yang berarti menyerah atau membiarkan seseorang benar-benar secara penuh dituntun oleh syari’at Allah SWT. Menyembah hanya kepada Allah, yang patut disembah, bukan yang lain, seperti firman-Nya, “Katakanlah, sesungguhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku, dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS Al-An’am: 162-163).

Diturunkannya wahyu Islam adalah untuk menyatukan seluruh umat manusia. Islam juga menyatukan mereka di dalam hubungan kehidupan dan kekerabatan. Islam mengatur segalanya sampai hari kebangkitan, karena tidak ada lagi rasul setelah Rasulullah SAW.

Jihad di jalan Allah merupakan cabang keimanan sekaligus puncak perjuangan Islam. Pengabdian kaum muslimin kepada Allah SWT seharusnya ditunjukkan untuk melakukan pencarian terhadap Tuhannya, bukan terhadap diri sendiri. Ini bisa dilakukan dengan memahami amanah yang diberikan Allah pada seorang muslim sesuai kemampuannya.

Bagi seorang pemula, bisa saja terjadi kekeliruan dalam memahami apa yang ditulis para ulama. Orang terpelajar sekali pun bisa juga mengalami keterbatasan dalam memahami kata-kata dalam suatu konteks yang berkaitan dengan kata-kata di dalam konteks lain. Jadi seorang pemula harus memastikan bahwa pemahamannya benar-benar akurat, dengan cara bertanya kepada orang yang lebih berpengetahuan.

Langkah yang sangat hati-hati diperlukan dalam memaknai jihad. Ini untuk mencegah terjadinya perbuatan yang justru berlawanan dengan tujuan jihad itu sendiri.

Pertama, anggota organisasi jihad yang tidak memenuhi syarat secara syari’at tidak diperbolehkan melakukan penilaian, interpretasi, dan menerapk
an apa yang terkandung di dalam kitab para ulama terdahulu pada kehidupan kita saat ini.

Aturan-aturan Islam tentang jihad yang terkandung dalam Al-Quran, sunnah Rasulullah SAW, dan kitab-kitab para ulama, meski tegas dan tidak berubah, masih memiliki alternatif-alternatif yang dapat disesuaikan pada setiap realitas dan keadaan. Ini hanya dapat dipahami oleh orang yang ahli dalam syari’at.

Kedua, karena di dalam fatwa terdapat pengertian mengetahui tugas seseorang pada kondisi yang sebenarnya, tidak diperbolehkan menerapkan fiqih kecuali melalui fatwa ulama yang memenuhi syarat untuk mengeluarkannya. Ulama yang memenuhi syarat adalah ulama yang berpengetahuan dan memahami syari’at serta realitas kekinian, yang sangat kompleks.

Ketiga, sama halnya dengan kitab-kitab fiqih, materi-materi jihad yang dipublikasikan melalui jaringan informasi internasional, seperti internet, televisi, rekaman video, DVD, dan lainnya, tidak boleh diterima begitu saja tanpa filter. Sebagai penerima informasi, umat Islam harus mencermati dan mempertanyakan lebih dulu: Apakah mereka yang memasang informasi dan menyerukan jihad ini memiliki pengetahuan, integritas, dan syarat-syarat yang ditetapkan dalam syari’at? Apalagi pesan yang mengandung ajakan kepada kaum muslimin untuk terus berseteru, mengobarkan konflik, dan peperangan dengan berbagai pihak.

Keempat, tidak dibolehkan bagi seseorang atau beberapa orang yang tidak memenuhi syarat untuk memimpin sekelompok orang pergi bertempur mengatasnamakan jihad. Dalam hal ini diperlukan kecermatan dan kehati-hatian ekstra terkait syarat-syarat syari’at yang harus dipenuhi, karena menyangkut persoalan nyawa dan harta benda manusia.

Kelima, jangan menerima fatwa dari siapa pun, khususnya mengenai isu-isu kritis, seperti darah dan harta benda, kecuali ada buktinya. Buktinya adalah tuntunan syari’at dari Al-Quran, sunnah Rasulullah SAW, ijma’, dan qiyas.

Keenam, jadikanlah Rasulullah SAW sebagai teladan, karena tidak ada lagi rasul sesudahnya.
Ketujuh, waspadalah terhadap fiqih pembenaran atau justifikasi. Pembenaran dengan menggunakan fiqih sering terjadi di zaman kita saat ini, yakni seseorang dipengaruhi oleh sesuatu atau berkomitmen terhadap sesuatu yang tidak benar dan tanpa dasar, kemudian melakukan pembenaran apa yang dilakukannya sebagai bukti dari yang ada di dalam Al-Quran atau hadits, untuk membenarkan kebodohannya.

Memperlakukan Orang Asing
Menjadi tanggung jawab kita, setiap orang asing yang datang dan tinggal di negara-negara muslim atau mayoritas muslim tidak boleh diintimidasi dan diteror dengan pembunuhan, perampokan, atau pencideraan. Baik mereka datang untuk berwisata, bekerja, berdagang, maupun lainnya. Kaum muslimin justru diwajibkan untuk melindungi mereka, selama kedatangan mereka untuk kebaikan.

Alasan mengapa kaum muslimin dilarang mengintimidasi, menciderai, atau membunuh orang asing yang berada di negara muslim atau mayoritas muslim:

Pertama, karena kemungkinan ada umat Islam di tengah-tengah mereka. Membunuh seorang muslim dengan sengaja tanpa suatu hak merupakan dosa besar, satu dari tujuh dosa besar. Allah SWT berfirman, “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, balasannya adalah jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutuknya serta menyediakan adzab yang besar baginya.” (QS An-Nisa’: 93). Rasulullah SAW bersabda, “Darah, kehormatan, dan uang setiap muslim dilarang bagi setiap muslim lainnya.”

Kedua, orang asing yang dibicarakan ini mungkin datang ke negara-negara muslim atas undangan atau untuk menjalankan kontrak kerja dengan pengusaha muslim. Kontrak kerja ini secara agama dibenarkan dan disahkan tanpa keraguan.

Ketiga, meskipun kita menganggap orang asing itu kafir dan tidak boleh diberikan perjanjian, mereka tetap tidak boleh dibunuh dengan sengaja. Meski mereka berada di medan peperangan antara kaum muslimin dan kafir atau sedang berada di perkemahan kaum kafir, orang asing ini tetap tidak boleh dibunuh. Orang asing yang masuk katagori ini adalah pekerja asing, pendeta, kaum wanita, anak-anak, dan manula. Larangan membunuh mereka ditunjukkan dalam hadits shahih yang dikutip Ibnu Umar, Anas, Burayda Bin Al-Hasib, dan lain-lain.

Keempat, prinsip yang ditetapkan pada kaum kafir adalah: Perlakukan yang sama, kecuali apa yang tidak diperbolehkan oleh syari’at. Perlakuan yang baik dan sama antara kaum muslimin dan kaum kafir dijelaskan langsung oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Bagaimana bisa ada perjanjian damai dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang musyrikin kecuali orang-orang yang kamu telah mengadakan perjanjian dengan mereka di dekat Masjidil Haram? Maka selama mereka berlaku lurus terhadapmu, hendaklah kamu berlaku lurus pula terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS At-Taubah: 7).

Kelima, jika seorang muslim dendam kepada pemerintah negaranya atau pemerintah asing dan ia tak bisa membalas dendam, mengapa pendatang asing yang harus menanggung akibatnya? Padahal mereka berada di tengah-tengah kaum muslimin yang tidak boleh dibunuh dengan sengaja meski diyakini mereka kafir. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Apakah aku akan mencari Tuhan selain Allah padahal Dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu? Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan’.” (QS Al-An’am: 164).

Lalu Allah SWT juga berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Maidah: 8).

Keenam, orang asing atau turis tidak datang ke negara-negara muslim untuk mendanai perang atau bertempur. Jadi apa yang diterapkan pada mereka adalah firman Allah SWT berikut, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berlaku adil.” (QS Al-Muntahanah: 8).

Inilah yang diperintahkan Allah SWT kepada kaum muslimin, dan mereka pun menyukai hubungan baik, perlakuan yang baik, dan melakukan perjanjian yang baik dengan mereka. Berarti umat Islam harus berlaku baik kepada mereka dan tidak boleh berbuat curang, apalagi membunuh mereka dengan darah dingin.
Tidak ada dasar untuk membunuh atas dasar kebangsaan. Selain itu, dengan alasan apa pun tidak diperbolehkan menilai seseorang sebagai muslim atau kafir atau memberikan sanksi dengan membunuhnya atas dasar warna kulit atau rambut atau karena dia memakai pakaian cara Barat. Tidak satu pun dari ciri itu yang menyatakan dia kafir atau muslim.

Pada saat Rasulullah SAW dan pengikutnya menaklukkan Persia dan Romawi, kaum muslimin tidak membunuh bangsa-bangsa yang ditaklukkan itu meskipun mereka kaum musyrik. Kaum muslim tidak membunuh atau menyerang siapa pun kecuali mereka yang berdiri untuk bertempur menghadang pasukan kaum muslimin. Jadi tidak setiap orang kafir harus dibunuh, karena tidak ada izin untuk membunuh setiap orang kafir. Hukuman bagi orang kafir ada di akhirat kelak.

Allah SWT juga melarang umat Islam melakukan serangan secara sembarangan, dan tidak boleh melampaui batas ketika berperang. Allah SWT berfirman, “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al- Baqarah: 190).

Jangan Taqlid
Sangat penting memahami agama Islam secara
benar, komprehensif, tidak sepotong-sepotong. Seorang muslim harus memahami hukum-hukum yang akan diikuti. Jangan mengikuti sesuatu yang tidak ada pengetahuan padanya (taqlid). Jangan menyerahkan pikiran kita kepada dalil yang lemah, karena tidak ada seorang pun yang bertanggung jawab pada diri kita kecuali diri sendiri.

Dalam konteks ini, ada beberapa saran yang diberikan oleh Dr. Fadl:
Pertama, pelajari agamamu. Rasulullah SAW mengatakan, mencari ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim (HR Suyuti).

Hal terpenting yang harus diketahui seorang muslim tentang agamanya setelah mempelajari dan memahaminya secara bertanggung jawab adalah mendefinisikan hukum. Pastikan bahwa kita tidak akan melakukan apa pun sampai kita mengetahui sah atau tidaknya dari sudut pandang lima definisi hukum (wajib, sunnah, mubah, haram, makruh).

Kedua, pelajari dengan cara mempraktekkan. Lakukan apa yang sudah dipelajari, jangan mengubur diri sendiri dengan apa yang tidak diperintahkan Allah SWT. Jangan merasa bersalah atau tidak nyaman jika Anda meninggalkan kewajiban agama jika kewajiban itu di luar kemampuan, karena tidak ada kewajiban dengan ketidakmampuan.

Ketiga, jangan sekali-kali melakukan hal yang dilarang. Bahkan untuk membiayai jihad, kita tidak boleh mencuri atau merampok. Allah SWT tidak akan menerima hal itu. Rasulullah SAW bersabda, “Allah itu Mahasuci dan tidak menerima apa pun selain yang suci.” (HR Muslim).

Keempat, mengetahui dasar aturan hukum.

Kelima, jangan merasa puas dengan pendapat sendiri dalam menghadapi persoalan diri sendiri.

Keenam, jangan mengikuti pemikiran orang lain yang lemah dalilnya. Karena, kalau kita melakukan kesalahan atas dasar pemikiran itu, kita sendirilah yang harus mempertanggungjawabkannya. Allah SWT berfirman, “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS Al-Muddatstsir: 38).
Ketujuh, hormatilah perjanjian. Menghormati perjanjian adalah kewajiban. Allah SWT berfirman, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah meneguhkannya sedangkan kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu terhadap sumpah-sumpahmu itu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” (QS An-Nahl: 91).

Last but not least, ketahuilah, wahai kaum muslimin, tidak ada di dalam syari’at Islam menyuruh membunuh kaum Yahudi atau Nasrani. Memang ada hadits yang mengatakan bahwa berhubungan suami-istri pada malam Jum’at, sama pahalanya dengan membunuh 40 Yahudi di medan perang. Tapi konteksnya jelas, hanya dalam peperangan. Bukan membunuh membabi buta atau menyerang di sembarang tempat. IMR



No comments:

Post a Comment