Kitab ini sarat dengan beragam informasi tentang Makkah pada dua abad pertama sejarah Islam. Sehingga bila kita menyelaminya, seakan kita tengah hidup di masa itu, di kota yang amat dicintai Rasulullah SAW.
Makkah adalah sebuah kota yang elok dan memiliki daya tarik tersendiri. Ia merupakan pusat perhatian seluruh umat manusia dan berbagai bangsa dalam lintasan generasi sejak beribu-ribu tahun lalu.
Tatkala Nabi Adam Alaihissalam dan Sitti Hawa turun dari surga ke muka bumi, kemudian keduanya dipertemukan Allah Ta’ala di Padang Arafah, Makkah, sejak itulah sejarah manusia dimulai. Dan Makkah mendapat porsi yang utama di dalam khazanah agama-agama samawi.
Makkah merupakan landasan turunnya wahyu pada masa Islam, tempat lahirnya Nabi Muhammad SAW, dan rukun Islam yang kelima juga menyebutkan posisi Makkah yang di dalamnya ada Ka’bah.
Dalam sejarah penulisan sejarah Islam, Makkah mendapat posisi paling utama untuk menjadi bahan kajian para penulis. Namun agak disayangkan, perhatian di kalangan penulis muslim baru mewujud pada masa Imam Abu Walid Muhammad Al-Azraqi (w. 250 H/845 M). Sehingga karya Al-Azraqi dianggap sebagai karya terawal dan tertua yang berhasil mendeskripsikan Makkah dengan kacamata sejarah. Memang pada masa itu, fokus perhatian penulis muslim periode awal lebih tertuju pada sejarah pada umumnya atau mengetengahkan hal-hal lain, seperti sejarah Nabi, sejarah peperangan Nabi, periwayatan hadits, dan lainnya, sebagaimana tampak pada karya Ibn Hisyam, Al-Waqidi, Ath-Thabari, dan Al-Ya’qubi.
Para peneliti manuskrip mengatakan, sekalipun ditemui tulisan tentang Makkah sebelum masa Al-Azraqi, tulisan-tulisan itu tak seutuhnya memaparkan Makkah secara spesifik seperti yang dilakukan Al-Azraqi. Tulisan itu masih bercampur dengan materi lainnya, seperti fiqih dan beberapa cabang keilmuan Islam lainnya. Makkah dalam hal ini hanya disebut dalam periwayatan suatu hukum atau juga asbabul wurud (sebab disabdakannya hadits). Al-Azraqi menghimpun dari berbagai riwayat itu dengan penekanan Makkah sebagai obyek utamanya.
Bentuk perhatian yang besar di kalangan ulama penulis terhadap kesakralan Makkah pasca-karya Al-Azraqi banyak bermunculan. Dengan berbagai sudut pandang dan menukil jalur periwayatan yang banyak diperoleh dari karya Al-Azraqi, para ulama ini aktif dalam penulisan sejarah Makkah secara umum maupun khusus.
Karya-karya itu di antaranya Tarikh Makkah, karya Ibn An-Najjar, Jamharah Ansab Quraisy, karya Az-Zubair bin Bukkar, Akhbar Makkah, karya Al-Fakihi, Fadhail Makkah, karya Al-Khuza’i, Akhbar Makkah, karya Ibn Al-A’rabi, Tarikh Makkah Ibn Mahfuzh As-Subaiki, Syifa al-Gharam, dan Al-‘Iqd ats-Tsamin, karya Al-Fasi.
Dalam muqaddimah yang ditulis muhaqqiq kitab Ifadah al-Anam bi dzikr Akhbar al-Balad al-Haram, karya ‘Allamah Al-Muhaddits Abdullah Al-Ghazi, disebutkan senarai karya yang bertemakan Makkah sejak Al-Azraqi sampai masa abad ke-19, mencapai 47 buah karya. Karya yang terakhir disebut adalah kitab Mir`ah al-Haramayn, yang disusun oleh Ibrahim Rif’at Basya (w. 1353 H/1934 M), pemimpin rombongan haji Mesir kala itu.
Karakter karya Al-Azraqi
Penelitian Al-Azraqi ditujukan kepada beberapa aspek yang berkaitan dengan Makkah, seperti sejarah, hadits, fiqih, geografi, hingga politik. Semua sudut pandang itu dituturkan berbasis informasi yang diterima melalui jalur periwayatan.
Al-Azraqi menulis karyanya ini dengan sistematis. Dalam sudut kesejarahan, ia menekankan berita Makkah berdasarkan urutan waktu kejadian (hawliyyat). Ia menceritakan riwayat berdasarkan hadits tentang telah diciptakannya Ka’bah di atas air sebelum diciptakannya langit dan bumi, pembangunan Ka’bah oleh para malaikat sebelum diciptakannya Adam AS, berhajinya Nabi Adam di Baitullah, pembangunan Ka’bah oleh anak-anak Adam, topan besar yang mengandaskan kapal Nabi Nuh di Makkah, hingga penyerbuan pasukan Abrahah atas Ka’bah di Makkah. Semua kejadian ini disusun dengan mengeksplorasi riwayat yang ada dan mengabaikan penilaian atau pembenaran riwayat-riwayat tersebut.
Aspek hadits juga ditekankan dalam penulisannya. Sebagaimana diketahui, Al-Azraqi hidup pada pertengahan abad ketiga Hijriyah. Masa itu disebut sebagai masa periwayatan. Sehingga dapat kita temui kejeliannya dalam penukilan riwayat, sebagaimana tampak dengan ungkapan “haddatsani” (telah membicarakan denganku), “akhbarani” (telah diberitakan kepadaku), dan “qala li” (telah berkata kepadaku), “an fulan” (dari seseorang), “kataba li fulan” (seseorang telah menulis kepadaku). Metode sanad yang kokoh dalam menetapkan kejadian-kejadian ini menjadi rujukan pada masa itu.
Al-Azraqi adakalanya meriwayatkan khabar yang sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW, atau yang sampai kepada sahabat (mawquf), atau riwayat yang kepada tabi’in (maqthu‘), atau bahkan juga menukil pandangan lainnya dalam suatu permasalahan. Yang terpenting metode penulisan pada masa itu mementingkan jalur yang ma‘tsur, sehingga terlepas dari pembuatan opini dan argumentasi atas suatu peristiwa. Ia juga tidak melakukan pentarjihan (penyeleksian) di antara perkataan-perkataan riwayat itu. Sebagai penghimpun berita, itulah tugasnya.
Setelah itu ia melakukan pembagian bab. Di bawah setiap bab, ia mencantumkan hadits-hadits Nabi atau perkataan-perkataan hikmah sahabat maupun tabi’in. Maka, lengkaplah kitab tentang Makkah ini.
Sebagaimana diketahui, umat Rasulullah SAW memiliki kekhasan berkaitan dengan mata rantai informasi dan pengetahuan yang disebut sanad. Al-Hafizh Abu Ali Al-Jiyani berkata, “Allah Ta’ala mengkhususkan bagi umat ini tiga perkara yang tidak diberikannya pada umat sebelumnya: sanad, nasab, dan i’rab (perubahan kedudukan kalimat dalam bahasa Arab).” Pada masa sebelum Islam, umat yang hidup di masa itu tidak memperhatikan masalah penukilan dan periwayatan dengan metode sanad dan biasa mengetahui para tokoh sanad ini dengan derajat udul (obyektif) dan dhabith (teliti dan kuat hafalan).
Pada sudut fiqih, Al-Azraqi menghadirkan materi fiqih yang penting, terutama berkaitan dengan ibadah haji. Ia meletakkan judul-judul yang berkenaan dengan fiqih dan memaparkan dalil-dalil yang berkaitan dengan judul.
Sedang sudut pandang geografi, Al-Azraqi memetakan setiap sudut atau tempat strategis di Makkah. Ia menyebutkan perkiraan jarak antar-bangunan rumah dan masjid, kampung, lembah, gunung, dan sebagainya berdasar riwayat-riwayat yang sampai kepadanya dari para gurunya. Di samping itu ia juga membeberkan batasan-batasan jarak setiap tempat di Makkah dengan mendetail, seperti menyebutkan jarak rumah Rasulullah SAW dari Namirah, sebagaimana riwayat yang diterimanya dari kakeknya, dari Muslim, dari Ibn Juraij, dari Atha‘ RA.
Beberapa jarak dari sekian tempat lainnya adakalanya disebutkan menurut perhitungannya sendiri, sesuai apa yang dilihat di masanya itu, seperti perkataannya, “Jarak antara Muzdalifah ke Mina, dan batas akhir masjid Mina ke masjid Muzdalifah, adalah dua mil.”
Sudut pandang politik juga diutarakannya dalam kitabnya ini. Al-Azraqi menyebutkan kondisi Masjidil Haram di masa Nabi SAW dan Khulafaur Rasyidin serta apa saja yang dibuang dalam restorasi masjid tersebut di masa Umawi dan Abbasi, khususnya perluasan yang berlangsung setahap demi setahap. Ia juga menyebutkan peristiwa hancurnya Ka’bah dan pembangunan
kembali Ka’bah di setiap periode penguasa-penguasa Islam yang memonitor keadaan Ka’bah dan Masjidil Haram.
(Bersambung)
Pasang iklan dilihat ribuan orang? klik > murah dan tepat sasaran">Serbuanads >> MURAH dan TEPAT SASARAN
No comments:
Post a Comment